TetapiSutawijaya .Api Di Bukit Menoreh has ratings and review. Muhammad said Menarik!Di balik kesederhanaan kata, kalimat, dan alur cerita, tersimpan kekayaan nuans .API DI BUKIT MENOREH. Seri II Buku SEBUAH padepokan kecil akan lahir disebelah Kademangan Jati Anom. Diatas sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi dengan berbagai macam pohon buah
♦ 15 Juli 2010 Namun Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berada di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu. Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu ngelangut. “Apakah mereka akan berada di banjar semalam suntuk?” desis Glagah Putih. Namun ternyata beberapa saat kemudian, ia mendengar beberapa orang memasuki penginapan itu. Ada di antara mereka yang sama sekali tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya, sehingga di dini hari, mereka berbicara tanpa mengendalikan diri. “Kalian tidak berada di rumah kakekmu sendiri,” terdengar suara Ki Sela Aji. “Bukankah Ki Murdaka sudah mengatakan, bahwa ia tidak senang kepada orang-orang yang mabuk serta yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya? Ia ingin orang-orang Kedung Jati bersih di mata orang-orang Seca. Dengan demikian, jika saatnya kita memasuki lingkungan ini, kita akan tetap dihormati sebagai murid-murid dari sebuah perguruan besar dan bertanggung jawab.” Orang-orang itu memang terdiam. Nampaknya mereka pun segera menebar dan memasuki bilik mereka masing-masing. Namun sesaat kemudian, terdengar lagi mereka berbicara terlalu keras, sehingga terdengar dari seluruh penginapan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Keberadaan orang-orang Ki Saba Lintang di penginapan itu memang akan dapat menimbulkan persoalan dengan beberapa orang lain yang juga menginap di penginapan itu, karena mereka ternyata telah mengganggu ketenangan di malam yang sudah terlalu dalam itu. Namun sejenak kemudian, Glagah Putih mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Agaknya seorang di antara mereka adalah Ki Sela Aji. “Paman Demung Pugut,” terdengar suara Ki Sela Aji, “orang orang gila itu agaknya sangat sulit dikendalikan. Agaknya mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak hati mereka.” “Padahal kita sudah memilih, Ki Sela Aji. Kita sudah memilih orang-orang yang terbaik. Tetapi orang-orang yang terbaik itu pun masih juga menyusahkan kita.” “Kita harus bertindak lebih keras lagi, Paman. Jika perlu kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka.” “Kita memang harus bersabar. Jika kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka, mungkin sekali mereka justru mulai menentang kita.” “Mereka tidak akan berani. Jika ada yang berani, aku akan menantangnya dan membuatnya menjadi jera.” Orang yang disebut Demung Pugut itu menarik nafas panjang. Namun dalam pada itu, terdengar ketukan pintu yang keras sekali di bilik yang terletak di sayap kiri penginapan itu. “Paman Demung Pugut mendengarnya?” “Ya.” “Apa yang terjadi?” Namun sebelum Ki Demung Pugut menyahut, terdengar seseorang berkata lantang, “Diam! Diam kalian. Kalian mengganggu ketenangan malam ini.” Terdengar jawaban yang tidak kalah kerasnya, “Apa pedulimu?” “Kalian berada di penginapan. Kalian harus bertenggang rasa. Jika kalian berteriak-teriak seperti itu, kami tidak dapat beristirahat malam ini.” Ternyata Glagah Putih tidak perlu membangunkan Rara Wulan, karena Rara Wulanpun telah terbangun dengan sendirinya.” Ada apa, Kakang?” bertanya Rara Wulan. “Aku belum tahu. ” Ketika Rara Wulan duduk di bibir pembaringan, terdengar Ki Sela Aji berkata, “Aku akan melihat, Paman. Tentu orang-orang kita telah mengganggu orang lain yang sedang menginap di penginapan ini pula. ” Keduanya pun kemudian keluar dari biliknya, sementara masih terdengar suara keras, “Jika kalian tidak mau tahu dengan orang lain yang dapat terganggu dengan sikap kalian, sebaiknya kalian menginap di kandang kambing.” “Persetan kau!” bentak orang yang dianggap mengganggu itu. Dalam waktu yang pendek, beberapa orang telah berkerumun, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan. “Jika kau tidak mau terganggu, kenapa kau bermalam di sini? Aku di sini membayar sewa bilik yang aku pakai. Karena itu, terserah apa yang akan aku lakukan di dalam bilik itu.” “Memang terserah apa yang akan kau lakukan, tetapi jangan mengganggu orang lain. Aku perlu beristirahat. Besok aku masih mempunyai banyak pekerjaan.” “Itu urusanmu, bukan urusanku.” Dalam pada itu Rara Wulan pun berbisik, “Orang yang merasa terganggu itu adalah Sutasuni, Kakang. Malam itu ia bermalam di bilik sebelah bilik kita, yang malam ini dipergunakan oleh Ki Sela Aji, sehingga ia berada di bilik yang berada di sayap penginapan ini.” “Persoalannya akan menjadi rumit. Bukankah orang itu pengikut Ki Panji Kukuh?” “Tetapi dibanding dengan Perguruan Kedung Jati, kelompok Ki Panji Kukuh adalah kelompok yang terhitung kecil.” “Tetapi jika terjadi benturan malam ini, orang-orang Perguruan Kedung Jati belum tentu dapat melawan para pengikut Ki Panji Kukuh. Namun kemudian Ki Saba Lintang tentu akan segera memburu Ki Panji Kukuh. Nampaknya Ki Panji Kukuh akan mengalami kesulitan yang besar.” “Tetapi gerombolan Ki Panji Kukuh tentu cukup lincah untuk menghindari tangan-tangan Ki Saba Lintang.” “Ya. Yang dapat dilakukan oleh Ki Panji Kukuh adalah bermain hantu-hantuan. Muncul dan menghilang. Tetapi dengan demikian, maka Ki Panji Kukuh tidak akan dapat mempertahankan jalur perdagangan gelapnya.” Keduanya pun terdiam. Mereka melihat Ki Sela Aji berusaha untuk melerai pertengkaran antara orang-orang dari Perguruan Kedung Jati dengan para pengikut Ki Panji Kukuh itu. “Sudahlah, Ki Sanak. Aku minta maaf,” berkata Sela Aji. Lalu katanya kepada orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu, “Nah, sekarang kalian mengalami sendiri. Penginapan ini bukan rumah kakekmu. Di sini banyak orang lain yang dapat merasa terganggu dengan sikap kalian. Jika kalian masih saja bersikap buruk dan mengganggu orang lain, maka aku akan mengusir kalian dari penginapan ini, dan biarlah kalian bermalam di pategalan, sebagaimana biasa kalian lakukan.” Orang-orang yang telah mengganggu tetangganya itu terdiam.” Aku juga dapat keras seperti Ki Murdaka. Bahkan siapa yang tidak menyetujui kebijaksanaanku, aku tantang untuk berkelahi melawan aku.” Orang-orang itu terdiam. Mereka tahu tingkat kemampuan Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut. “Nah, kalian harus menghormati orang lain agar mereka juga menghormati kita.” Orang yang mempergunakan bilik itu tidak menjawab. “Nah, Ki Sanak. Kau tidak akan terganggu lagi.” “Terima kasih,” desis Sutasuni. Dalam pada itu, petugas penginapan itu pun kemudian mempersilakan mereka yang berkerumun itu untuk kembali ke bilik mereka masing-masing. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun Ki Sela Aji sendiri serta Ki Demung Pugut masih tinggal beberapa saat di bilik yang membuat kisruh itu. Setelah peristiwa itu, maka penginapan itu menjadi tenang. Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan ternyata menghormati pula sikap Ki Sela Aji. Bagaimanapun juga, selain Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut memiliki kelebihan dari mereka, maka keduanya memang mendapat wewenang dari Ki Murdaka untuk mengawasi orang-orang yang dibawanya ke Seca. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi dapat tidur. Meskipun Rara Wulan mempersilahkan Glagah Putih untuk tidur meskipun hanya sesaat, tetapi ternyata Glagah Putih tidak dapat memejamkan matanya. Apalagi ketika Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut kemudian kembali ke biliknya. “Orang itu memang keras kepala,” berkata Ki Sela Aji. “Tetapi nampaknya ia mengerti bahwa kita bersungguh-sungguh, sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi. Demikian pula kawannya yang tinggal bersamanya dalam bilik itu.” “Ya, Paman. Sekarang silahkan Paman tidur meskipun hanya sebentar.” “Bukankah sebentar lagi langit akan menjadi merah?” Ki Sela Aji menarik nafas panjang. Katanya, “Jika demikian, aku-lah yang akan tidur sejenak. Besok kita masih harus melihat-lihat keadaan kademangan ini. Kita harus tahu lebih dahulu keadaan tempat ini, sebelum kita akan membicarakan tentang kemungkinan kita mendirikan salah satu landasan perguruan kita. Jika kita berhasil, maka kita tinggal membuat satu lagi landasan perguruan kita di sebelah selatan, untuk membayangi Mataram.” “Kita harus tetap memperhitungkan Tanah Perdikan Menoreh.” “Tentu, Paman. Ki Saba Lintang sendiri selalu memperingatkan tentang Tanah Perdikan yang besar dan kuat itu.” “Belum tentu. Tetapi kemungkinan terbesar, Ki Saba Lintang tidak akan datang. Meskipun demikian segalanya masih dapat berubah.” Ki Demang Pugut mengangguk-angguk. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Nampaknya Ki Saba Lintang tidak dapat melupakan Tanah Perdikan Menoreh. Selain beberapa kali Ki Saba Lintang mengalami kegagalan, di Tanah Perdikan Menoreh itu pula tersimpan pasangan tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mendengar pembicaraan lagi. Agaknya Ki Sela Aji benar-benar berniat untuk tidur barang sejenak. Dalam pada itu. menjelang fajar Glagah Putih dan Rara Wulan telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Rara Wulan tidak mau pergi sendiri ke pakiwan. Orang-orang yang menginap di penginapan itu adalah orang-orang yang dapat berbuat apa saja di luar dugaan, karena ada di antara mereka yang tidak lagi berpijak pada tatanan bebrayan serta unggah-ungguh. Rara Wulan bukan berarti ketakutan dengan kehadiran mereka Tetapi jika ia sedang mandi di pakiwan, maka ia benar-benar berada dalam keadaan yang sangat lemah. Sebelum fajar Glagah Putih dan Rara Wulan telah selesai berbenah diri. Sementara itu orang-orang dari Perguruan Kedung Jati masih belum bangun. Mereka masih asyik mendengkur di bilik mereka masing-masing. Tetapi para pedagang yang menginap di penginapan itu, karena ternyata tidak semua bilik dipergunakan oleh Perguruan Kedung Jati, telah siap pula pergi ke pasar. Sebelum matahari terbit, maka beberapa orang pedagang telah meninggalkan penginapan itu untuk pergi ke pasar. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan juga turun dari pendapa, maka petugas di penginapan itu menyapa mereka, “Apakah kalian juga akan pergi ke pasar?” “Ya,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan. “Nah. jika demikian aku dapat berharap,” berkata petugas itu sambil tersenyum. “Berharap apa?” “Tentu oleh-olehnya. Nagasari, mendut atau carang gesing pisang raja?” Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Di sela-sela tertawanya Rara Wulan pun berkata, “Jika setiap orang yang pergi ke pasar membawa oleh-oleh, maka perutmu akan kesakitan.” Petugas itu tertawa pula. Katanya, “Ah, tentu tidak semua. Aku hanya berani berharap kepada kalian.” “Ah, macam-macam saja kau ini,” desis Glagah Putih. Namun ia masih saja tertawa. Namun Rara Wulan pun kemudian berkata, “Baik. Aku akan membeli rujak babal, bluluk dan jambu klutuk yang masih mentah.” “Ah, kau mau menyakiti perutku?” Rara Wulan pun kemudian menarik tangan Glagah Putih sambil berkata, “Marilah, Kakang. Nanti kita kesiangan.” Petugas itu tertawa, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkannya menuju ke regol halaman penginapan itu. Meskipun hari masih pagi, tetapi jalan-jalan di Seca sudah mulai ramai. Di hari pasaran, banyak orang-orang padukuhan yang pergi ke pasar untuk menjual hasil kebunnya serta hasil kerajinan tangan mereka. Hasil kerajinan bambu, pandan atau mendong, atau jenis kerajinan yang lain. Namun para pedagang yang berdatangan di Seca yang bahkan sudah menginap semalam, telah pergi ke pasar pula dengan membawa dagangan mereka. Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan berada di pasar, maka mereka pun segera berusaha untuk mencari pedagang yang telah mengadakan hubungan dengan Jati Ngarang dalam rencana mereka mengadakan perdagangan gelap. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menemukan pedagang itu. “Mungkin orang itu sudah menipu Jati Ngarang,” desis Rara Wulan. “Mungkin sekali. Memang tidak semudah itu untuk mengatakan dimana hubungan perdagangan gelap itu dapat dilakukan.” Namun untuk beberapa lama mereka masih berada di pasar. Mungkin orang yang mereka cari itu masih belum sampai ke pasar itu. Ketika matahari mulai naik, maka pasar Seca itu menjadi semakin penuh. Bahkan orang yang berjual beli itu meluap sampai ke luar pasar. Beberapa orang menjual hasil bumi mereka serta kerajinan tangan yang mereka buat di rumah. Mereka masing-masing itu terpaksa menggelar dagangan mereka di pinggir jalan, karena mereka tidak mempunyai tempat yang tetap di dalam pasar itu. Tetapi biasanya para tengkulak-lah yang telah membeli dagangan mereka dengan harga yang rendah. Namun bagi para petani dan mereka yang membuat kerajinan tangan di rumah itu, merasa bahwa apa yang mereka terima itu sudah cukup, sehingga mereka tidak menuntut harga yang lebih tinggi lagi. “Orang itu tidak ada di sini,” desis Glagah Putih. “Kita mempunyai sasaran pengamatan yang baru di Seca ini, Kakang.” “Ya. Kita harus mengamati para pengikut Ki Saba Lintang itu.” Dalam pada itu, baru setelah matahari menjadi semakin tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat dua orang pengikut Saba Lintang yang berada di penginapan itu ikut berdesakan di dalam pasar. Glagah Putih pun menggamit Rara Wulan sambil berkata, “Lihat. Ternyata mereka sudah bangun.” Rara Wulan pun menyahut, “Bukankah matahari sudah semakin tinggi?” Glagah Putih terdiam. Bahkan ia pun telah melihat orang yang disebut Ki Murdaka itu berada di dalam pasar itu pula, di ikuti oleh Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut. “Nampaknya orang-orang penting dari Perguruan Kedung Jati itu berusaha untuk melihat padukuhan Seca dari segala segi,” desis Glagah Putih. “Maksud Kakang?” “Mereka melihat dari sisi perdagangan serta kesibukan rakyat Seca dalam hubungannya dengan pasar yang ramai ini. Tetapi yang lain tentu melihat-lihat sisi kehidupan yang lain pula. Mungkin mereka akan melihat bendungan, parit dan air yang mengaliri sawah. Mungkin mereka juga memperhatikan ternak yang digembala di padang rumput. Mungkin jalan-jalan yang menghubungkan Seca keluar kademangan, serta sisi-sisi kehidupan yang beraneka lainnya.” “Ya, Kakang. Sebelum mereka membangun landasan di Seca, mereka tentu ingin mengetahui keadaan kademangan ini seutuhnya. Tentu saja termasuk manusianya. Manusia yang tinggal di Kademangan Seca.” “Jika demikian, bukankah sebaiknya kita melihat-lihat kademangan ini pula? Kita sekarang sudah melihat bahwa sebagian dari mereka berada di pasar. Sebaiknya kita juga melihat, apakah di antara mereka ada yang berkeliaran.” “Jadi, untuk sementara pedagang yang berhubungan dengan Jati Ngarang itu kita lupakan dahulu?” Glagah Putih ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita akan mengalihkan perhatian kita kepada orang-orang dari Perguruan Kedung Jati ini.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan pasar itu pula. Mereka pun kemudian menyusuri jalan-jalan utama di Kademangan Seca. Seperti yang mereka duga, maka beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang, yang berada di penginapan yang sama dengan penginapan mereka. Nampaknya orang-orang itu memperhatikan keadaan kehidupan di Seca dengan seksama. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berjalan keluar gerbang padukuhan. Ternyata di luar padukuhan mereka pun bertemu pula dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang. Untunglah orang-orang itu tidak mengenal mereka, sehingga mereka sama sekali tidak memperhatikan keduanya. “Ternyata mereka benar-benar sedang mengamati seluruh kademangan ini, Kakang,” desis Rara Wulan. “Ya. Kita dapat bertemu dengan mereka dimana-mana.” “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan?” “Sebaiknya kita kembali ke pasar. Makan, dan kemudian kembali ke penginapan.” Ternyata Rara Wulan sependapat. Mereka pun telah pergi ke pasar dan singgah di sebuah kedai. Demikian mereka keluar dari kedai, mereka pun memerlukan sekali lagi berkeliling di dalam pasar yang masih saja ramai itu. Tetapi mereka tidak bertemu dengan pedagang yang telah berhubungan dengan Jati Ngarang. Setelah membeli beberapa bungkus nagasari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun kembali ke penginapan. Demikian mereka memasuki gerbang dan berjalan ke pendapa, mereka berpapasan dengan petugas di penginapan itu. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Rara Wulan telah menyodorkan beberapa bungkus nagasari sambil berkata, “Kau akan menanyakan oleh-oleh, bukan? Nagasari atau yang lain?” Petugas itu tertawa. Tetapi demikian ia menerima beberapa bungkus nagasari, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkannya. Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di bilik mereka. Setelah menutup pintu dan menyelaraknya dari dalam, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Beristirahatlah, Kakang. Semalam kau hampir tidak sempat beristirahat sama sekali.” “Kau juga.” “Aku masih sempat tidur meskipun sebentar.” Glagah Putih menarik nafas panjang la tidak terbiasa tidur di siang hari. Tetapi kadang-kadang jika ia merasa sangat letih, ia membaringkan dirinya beberapa saat. Namun baru saja Glagah Putih berbaring, ia mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Nampaknya mereka agak tergesa-gesa. Pintu pun terdengar ditutup dan diselarak pula dari dalam. “Berita itu tidak menyenangkan bagiku, Paman,” terdengar suara Ki Sela Aji. Glagah Putih dan Rara Wulan mencoba untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Dengan hati-hati Glagah Putih bangkit dan duduk di amben panjang yang ada di dalam biliknya. “Kenapa kau tidak senang?” “Akan datang lagi orang yang jumlahnya lebih banyak. Tentu di antaranya ada orang-orang tua berilmu tinggi. Namun mereka terbiasa menuruti kemauan mereka sendiri.” “Itu tentu tanggung jawab Ki Saba Lintang sendiri.” “Ya. Tetapi jika terjadi gejolak, maka rencana untuk menjadikan Seca ini salah satu landasan bagi Perguruan Kedung Jati akan terganggu.” Tetapi terdengar jawaban yang agaknya diucapkan oleh Ki Demung Pugut, “Kau tidak perlu memikirkannya terlalu berat. Ki Saba Lintang tentu sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Jika benar ia akan datang nanti malam, tentu ada pertimbangan-pertimbangan tertentu.” “Tetapi aku tidak memberikan pendapat, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang sendiri datang ke Seca.” “Sudahlah. Jika Ki Saba Lintang itu benar-benar datang, kau dapat mengajukan beberapa pendapat. Terutama tentang sikap para pengawal. Yang sekarang ada di sini saja sudah harus dikendalikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi jika akan datang beberapa orang lagi yang merasa mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada siapapun juga.” “Paman tentu mengetahui, bahwa kita berdua masih memiliki pengaruh yang besar terhadap orang-orang yang sekarang sudah berada di Seca, karena kemampuan kita lebih tinggi dari mereka. Tetapi jika yang datang itu merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kita berdua, maka mereka tentu akan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang kita berikan.” “Kita tinggal melaporkannya saja kepada Ki Saba Lintang.” “Sebenarnyalah kekuatan Ki Saba Lintang tergantung kepada beberapa orang berilmu tinggi itu. Paman tahu bahwa sebenarnya Ki Saba Lintang itu bukan apa-apa tanpa beberapa orang pendukungnya yang kokoh itu.” Ki Demung Pugut terdiam. Keduanya untuk beberapa saat saling berdiam diri. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan di dalam biliknya juga berusaha untuk tetap duduk diam. Mereka berharap bahwa pembicaraan antara Ki Demung Pugut dan Ki Sela Aji itu dilanjutkan. Namun yang terdengar kemudian, Ki Demung Pugut itu pun berkata, “Beristirahatlah. Aku akan melihat-lihat keluar.” “Silahkan, Paman. Mungkin Paman akan mendapat kepastian, apakah nanti malam Ki Saba Lintang benar-benar akan datang.” “Baiklah. Tetapi seandainya Ki Saba Lintang akan datang, Angger tidak perlu menjadi cemas karenanya.” Ki Sela Aji tidak menjawab. Sementara itu terdengar pintu pun terbuka. “Apakah Angger akan menyelarak pintu atau tidak?” “Tidak usah, Paman. Nampaknya tidak akan ada gangguan apa-apa. Jika aku terlanjur tidur, Paman tidak perlu mengetuk pintu itu.” Sejenak kemudian, maka bilik di sebelah itu pun menjadi sepi. Agaknya Ki Sela Aji benar-benar ingin beristirahat. Bahkan tidur, meskipun hanya sebentar. Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberi isyarat kepada Rara Wulan untuk membenahi pakaiannya. “Untuk apa?” bertanya Rara Wulan. “Sst,” desis Glagah Putih, sambil memberi isyarat agar Rara Wulan berbicara perlahan-lahan, “kita akan keluar.” “Kenapa?” “Omong-omong. ” “Maksud Kakang?” “Ada yang harus kita bicarakan. Tetapi tidak dapat kita lakukan di sini.” “Jadi dimana?” “Kita dapat berbincang di pringgitan. Jika banyak orang di pringgitan, kita perlu keluar dan berbincang sambil berjalan-jalan.” Rara Wulan tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun keluar dari bilik mereka. Ketika mereka melewati pintu bilik di sebelahnya, pintu itu tertutup rapat. Meskipun Glagah Putih tahu bahwa pintu itu tidak diselarak. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah berada di pringgitan. Namun di pendapa itu beberapa orang sedang berbincang-bincang. Di antara mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang. Agaknya sejak mereka berada di penginapan itu, mereka tidak sempat memperhatikan keberadaan Rara Wulan. Ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dan Glagah Putih melintas, maka beberapa orang di antara mereka memperhatikannya dengan tatapan mata tanpa berkedip. Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa orang-orang itu sedang memperhatikannya. Tetapi keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya sama sekali. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih melihat seorang di antara mereka yang berada di pendapa itu telah memanggil petugas di penginapan itu. “Kau tahu kenapa orang itu memanggil petugas di penginapan ini?” bertanya Glagah Putih. Rara Wulan menggeleng sambil menjawab, “Tidak.” “Orang yang memanggilnya itu akan bertanya kepada petugas itu, siapakah perempuan yang ada di penginapan ini.” “Ah, Kakang.” “Benar, tetapi tidak apa-apa. Kelakuan mereka akan selalu diawasi oleh Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut” “Kalau kebetulan keduanya tidak ada?” “Itulah yang ingin kita bicarakan.” “Apa maksud Kakang?” Glagah Putih tidak segera menjawab. Baru ketika keduanya sudah berada di luar pintu regol penginapan, Glagah Putih pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang akan datang malam nanti.” “Apa yang akan kita lakukan, Kakang. Tentu kita tidak akan mungkin datang kepadanya dan mengambil tongkatnya. Ia tentu dikelilingi oleh banyak orang berilmu tinggi.” “Tentu. Kita tentu tidak akan dapat mengambil langsung. Tetapi bagaimana jika kita berusaha untuk meminjam kekuatan orang lain?” “Kekuatan siapa? “Bukankah Sutasumi masih berada di penginapan?” “Entahlah, Kakang. Tetapi agaknya ia masih berada di sana.” “Aku berharap bahwa nanti malam Sutasuni merasa terganggu lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang.” “Apa hubungannya?” “Aku berharap dapat terjadi benturan kekerasan ” Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Kita akan berpihak kepada Sutasuni?” “Ya.” “Tetapi jika kemudian Sutasuni tidak berniat berhubungan dengan kita untuk selanjutnya?” “Itu akibat buruk yang dapat saja terjadi. Kita memang harus meninggalkan tempat ini.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Segala sesuatunya memang dapat dicoba ” “Bukankah kita tinggal meyakinkan, apakah Ki Saba Lintang itu benar-benar akan datang?” Rara Wulan mengangguk. “Ki Sela Aji akan membawa berita itu. Meskipun agaknya Ki Sela Aji sendiri merasa keberatan jika Ki Saba Lintang sendiri datang ke Kademangan Seca.” “Mungkin Ki Sela Aji-lah yang paling berminat untuk menjadikan kademangan ini salah satu landasan Perguruan Kedung Jati itu.” “Ya. Memang mungkin sekali.” Demikianlah, mereka berdua pun telah membicarakan beberapa hal yang akan mereka lakukan sehubungan dengan kedatangan Ki Saba Lintang. Setelah pembicaraan mereka tuntas, maka mereka pun segera kembali ke penginapan mereka. Ternyata pendapa dan pringgitan penginapan itu masih saja nampak ramai. Seperti pada saat keduanya melintas keluar dari penginapan itu, maka ketika mereka lewat di sebelah pendapa, beberapa orang memandangi mereka dengan tajamnya. Bahkan sampai mereka hilang di balik seketheng. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera masuk ke dalam biliknya. Tetapi mereka pun mencari petugas penginapan itu. “Ada apa?” bertanya petugas itu, “Tadi aku lihat kalian keluar. Tetapi aku tidak sempat bertanya, karena aku dipanggil oleh orang-orang yang berada di pendapa itu.” “Apa yang mereka katakan?” “Tidak apa-apa,” petugas itupun tersenyum-senyum. “Jika tidak kau katakan, aku tidak akan membeli nagasari lagi untukmu.” “Sungguh. Tidak apa-apa. Mereka hanya sedikit bertanya tentang jalan-jalan di Kademangan Seca ini.” “Baik. Aku tidak akan membeli nagasari atau gandos rangin lagi buatmu.” “Ah, jangan begitu.” “Katakan, apa yang mereka tanyakan,” desak Rara Wulan Petugas itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Mereka bertanya tentang Nyi. Hanya sekedar bertanya.” “Mereka bertanya sambil tertawa-tawa?” bertanya Rara Wulan. Petugas itu tidak menjawab. Tetapi petugas itu hanya tersenyum-senyum saja. “Nah, bukankah kau yang tertawa-tawa?” “Tidak. Tetapi aku tidak dapat mengatakannya.” “Baik, baik. Sekarang pergilah ke bilikku.” “He?” “Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu.” Petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan ketika keduanya pergi ke bilik mereka. Ternyata bilik di sebelahnya masih sepi. Agaknya Ki Sela Aji masih tidur, sedangkan Ki Demung Pugut masih belum kembali. Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun berkata kepada petugas itu, “Hitung. Berapa aku harus membayar?” “He? Apakah kalian akan pergi?” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Kami bersungguh-sungguh. Tetapi jangan salah paham. Kami tidak mempunyai persoalan dengan kau dan dengan kawan-kawanmu, para petugas di penginapan ini. Aku pun berkata bersungguh-sungguh, bahwa orang-orang yang menginap di penginapan ini membuat hati kami tidak tenang. Banyak masalah yang dapat timbul. Karena itu, jika keadaan menjadi semakin buruk, maka kami benar-benar akan meninggalkan penginapan ini. Agar kami tidak mempunyai hutang kepada penginapan ini karena kami dapat pergi setiap saat bila keadaan menjadi bertambah buruk, maka kami akan membayar lebih dahulu sewanya selama kami berada di sini ” Petugas itu termangu-mangu sejenak. Dari sorot matanya nampak betapa ia menjadi kecewa. “Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa?” “Sampai sekarang mereka memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi nanti sore, nanti malam atau besok pagi?” “Kami para petugas tentu akan mencegahnya.” “Sudahlah. Lebih baik bersiap-siap. Seandainya kalian mencoba mencegahnya, kalian tentu tidak akan berhasil.” “Kenapa?” Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun berdesis, “Agaknya mereka adalah orang-orang berilmu.” Petugas di penginapan itu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian berkata, “Baiklah, aku akan menghubungi petugas yang akan menghitung berapa kalian harus membayar.” Sejenak kemudian petugas itu pun meninggalkan bilik Glagah Putih. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu, tiba-tiba saja terdengar pintu bilik di sebelah terbuka. Ternyata sebelumnya bilik itu kosong. Yang kemudian masuk ke dalamnya adalah Ki Demung Pugut dan Ki Sela Aji. “Ki Saba Lintang benar-benar akan datang, Paman,” desis Ki Sela Aji. “Seperti yang aku katakan, jangan terlalu dirisaukan. Biarlah Ki Saba Lintang mengatur orang-orang yang dibawanya.” “Jika Ki Saba Lintang bermalam di banjar, maka Ki Murdaka tentu akan bermalam di tempat lain. Mungkin di sini, karena penginapan yang cukup baik dan jaraknya tidak terlalu jauh dari banjar adalah penginapan ini. Ada penginapan lain yang baik, tetapi jaraknya terlalu jauh dari banjar.” “Serahkan saja nanti kepada kemauan Ki Saba Lintang sendiri. Meskipun demikian, kau dapat memberikan pendapat kepadanya. Termasuk pengendalian orang-orang yang sudah datang dan yang datang bersama Ki Saba Lintang sendiri.” Ki Sela Aji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Ya. Aku akan melaporkan kepada Ki Saba Lintang.” Sementara itu, petugas penginapan itu pun telah datang pula untuk memberitahukan berapa banyak Glagah Putih harus membayar. “Sebenarnya aku masih ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk tinggal lebih lama lagi,” berkata petugas itu. Tetapi Glagah Putih menyahut, “Segala sesuatunya tergantung sekali kepada keadaan.” Petugas itu tidak menjawab lagi. Tetapi ternyata sekali di wajahnya, bahwa ia merasa kecewa. Beberapa saat kemudian, maka petugas itu pun telah meninggalkan bilik Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu Ki Sela Aji pun berkata, “Aku akan mengusulkan sebaiknya mereka yang datang kemudian tidak usah bermalam di sini. Jika Ki Murdaka yang harus bermalam di sini, tentu ada baiknya. Aku akan mempunyai kawan lagi untuk mengendalikan orang-orang itu.” “Mudah-mudahan saja Ki Murdaka yang akan bermalam di sini nanti malam.” Keduanya pun kemudian terdiam. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Hampir berbisik Glagah Putih berkata, “Semoga saja kita mendapat kesempatan.” Ketika kemudian senja turun, maka penginapan itu pun menjadi semakin ramai. Ternyata Ki Saba Lintang dan beberapa orang lagi telah datang di Seca. Agaknya Ki Saba Lintang sendiri akan bermalam di banjar, sedangkan beberapa orang pengawalnya akan bermalam di penginapan itu. Namun ternyata bahwa Ki Murdaka sendiri tidak ikut bermalam di penginapan itu, tetapi Ki Murdaka tetap bermalam di banjar. Dalam pada itu, ketika penginapan itu menjadi semakin ramai, serta para penabuh gamelan mulai membunyikan gamelan dengan lagu-lagu yang hangat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di pringgitan. Sebenarnyalah keberadaan mereka di pringgitan telah menarik perhatian beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang. Baik mereka yang sudah ada di penginapan itu sejak semalam, maupun mereka yang baru datang. Bahkan beberapa orang yang tidak begitu menghiraukan unggah ungguh, telah mendekatinya. Seorang yang berperawakan sedang dan berkumis tipis tiba-tiba saja telah menyapanya, “He, perempuan cantik. Siapa namamu, he?” “Kakang,” Rara Wulan pun segera bergeser di belakang Glagah Putih. Wajahnya membayangkan ketakutan. “Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “jangan ganggu istriku.” “Siapa yang mengganggu? Bukankah aku hanya sekedar bertanya?” sahut orang itu sambil membelalakkan matanya. Glagah Putih pun bergeser surut sambil menjawab, “Tetapi perbuatan Ki Sanak membuat istriku ketakutan.” “Istrimu memang penakut. Bukankah aku bersikap wajar-wajar saja?” “Tidak. Itu tidak wajar. Ki Sanak tahu, bahwa ia adalah istriku. Ia duduk di sampingku. Tetapi Ki Sanak mendekatinya dan bertanya, siapakah namanya? Kenapa Ki Sanak tidak bertanya kepadaku?” “Gila. Kau gila. Aku pecahkan kepalamu.” “Jangan. Ki Sanak-lah yang telah menakuti istriku. Ki Sanak tidak dapat menyalahkan aku.” “Diam!” bentak orang itu, “Jika kau tidak mau diam. aku akan memukulmu sampai pingsan.” “Jangan. Tetapi Ki Sanak harus minta maaf kepada Istriku.” “Cukup! Cukup!” teriak orang yang marah itu. Dalam pada itu, petugas penginapan itu pun berlari-lari mendatangi keributan itu. Dengan hati-hati ia bertanya, “Apa yang terjadi Ki Sanak?” “Laki-laki itu membuat istriku ketakutan. la mengamit istriku dan bertanya siapa namanya.” Orang itu tiba-tiba saja telah menampar mulut Glagah Putih. Terdengar Glagah Putih mengaduh kesakitan. “Tunggu, Ki Sanak. Kita harus menyelesaikannya dengan baik. Ki Sanak tidak boleh melakukan kekerasan.” “Diam kau, pelayan edan. Kau tidak usah turut campur.” “Aku petugas di sini Ki Sanak. Sudah sewajarnya aku berusaha untuk menjaga ketenangan di penginapan ini.” “Singkirkan laki-laki dan perempuan cengeng itu.” “Aku akan membawanya menyingkir. Tetapi Ki Sanak jangan menakut-nakuti lagi.” “Cukup. Bawa mereka pergi.” Selagi orang itu membentak, Ki Sela Aji telah datang dengan tergesa-gesa. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Ada apa?” Glagah Putih-lah yang menyahut, “Laki laki itu menakut-nakuti istriku.” “Tidak. Aku hanya bertanya siapa namanya.” “Pertanyaanmu itulah yang membuatnya ketakutan.” “Ya. Istriku duduk di sampingku. Laki-laki itu datang langsung menggamitnya dan bertanya siapa namanya. Kenapa ia tidak bertanya kepadaku?” Ki Sela Aji memandang orang itu dengan dahi yang berkerut. Kemudian ia pun berkata, “Sudahlah, tinggalkan mereka. Atas nama Ki Murdaka aku peringatkan sekali lagi, agar kalian tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat persoalan yang rumit di kademangan ini.” “Aku tidak berbuat apa-apa, Ki Sela Aji. Kedua orang itulah yang cengeng.” “Kalau begitu, jangan sentuh orang yang cengeng.” Ternyata bahwa wibawa Ki Sela Aji masih tetap tinggi Beberapa orang itu pun bergeser surut. Namun seorang di antara mereka berkata, “Laki-laki dan perempuan itulah yang keterlaluan. Sebenarnya tidak ada apa-apa. Tetapi mereka sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian.” “Sudah, sudah,” sahut Ki Sela Aji, “jauhilah mereka, jika kalian tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang cengeng.” Orang-orang itu pun segera menjauh. Namun dalam pada itu di halaman, Sutasuni dan seorang kawannya berdiri termangu-mangu. Glagah Putih segera menggamit Rara Wulan. Mereka pun segera turun dari pendapa dan mendapatkan Sutasuni. “Ki Sanak yang semalam merasa terganggu itu?” bertanya Glagah Putih. “Ya. Mereka memang orang-orang yang tidak tahu aturan.” “Sebenarnya aku ingin melawan. Tetapi aku hanya seorang diri, di hadapan sekian banyak orang.” “Tetapi orang-orang itu sekali-sekali harus dibuat jera. Apakah kau tahu. siapakah mereka itu?” Glagah Putih termangu mangu sejenak. Ia merasa heran bahwa Sutasuni dari gerombolan Ki Panji Kukuh tidak mengenal Ki Saba Lintang dari Perguruan Kedung Jati. Setidak-tidaknya mengenali namanya. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Entahlah. Tetapi mereka datang dalam kelompok yang jumlahnya cukup banyak.” “Mereka harus dibuat jera.” “Kalau terjadi perselisihan lagi antara Ki Sanak dengan orang-orang itu, apalagi jika terjadi benturan kekerasan, kami akan berpihak kepada Ki Sanak.” “Kami siapa maksudmu?” “Aku dan istriku.” “Kau dan istrimu ini?” “Ya. Serba sedikit ia mampu melindungi dirinya sendiri.” “Baik. Nanti malam aku akan memanggil kawan kawanku. Mereka harus dibuat jera.” “Ajak kami berdua.” “Baik. Kami akan mengajak kalian berdua.” “Jika demikian, kami akan bersembunyi saja di bilik Ki Sanak.” “Di bilikku?” bertanya Sutasuni dengan heran. “Ya. Kenapa?” “Kau dan istrimu?” “Ya. Kami merasa tidak aman lagi di bilik kami sendiri.” Sutasuni masih tetap ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Sekehendak kalian sajalah. Tetapi bilik itu sudah terisi oleh dua orang, aku dan kawanku ini. Sementara itu aku akan memanggil kawan-kawanku agar malam nanti mereka datang kemari. Aku akan memberi sedikit pelajaran kepada orang-orang yang merasa seakan-akan penginapan ini milik mereka. Lebih dari itu, agaknya mereka merasa bahwa di Seca ini mereka dapat berbuat sesuka hatinya, tanpa ada orang yang mampu mencegahnya.” “Nah, Jika demikian, satu kebetulan. Sudah aku katakan, aku dan istriku ada di pihakmu.” Sutasuni kemudian tidak menolak ketika Glagah Putih dan istrinya berada di biliknya, meskipun biliknya tidak terlalu luas. Tetapi di bilik itu cukup tempat untuk duduk-duduk mereka berempat. “Yang datang itu tentu para penjahat,” berkata Glagah Putih. “Agaknya mereka akan menguasai Seca yang damai ini. Mungkin mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perdagangan terlarang.” “Tidak,” sahut Sutasuni, “perdagangan terlarang di daerah ini berada di satu tangan. Yang berusaha untuk mengganggu akan disingkirkan.” “Jangan-jangan justru orang-orang itu yang memiliki jalur tunggal perdagangan gelap di daerah ini?” “Bukan mereka.” “Jadi mereka siapa?” “Tidak tahu. Tetapi mungkin kawan-kawanku nanti akan mendapat keterangan dari orang-orang yang mendapat tugas sandi.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika malam menjadi semakin malam, maka suara gamelan pun mulai menjadi lebih tenang. Gending-gendingnya pun dipilih gending-gending yang tidak membangkitkan suasana yang gelisah. Namun di pendapa itu masih tetap saja ramai oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang menjadi semakin banyak. Bahkan di pendapa itu, beberapa orang mulai minum tuak. Ketika Ki Sela Aji datang untuk memberi peringatan, maka seorang yang sudah separuh baya, yang baru malam itu datang untuk bermalam di penginapan itu, berkata, “Jangan terlalu merunduk di hadapan Murdaka. Bukankah sekali-sekali kita boleh bergembira? Mumpung tugas kami masih belum terlalu berat. Mumpung kita baru mulai, sehingga kita mempunyai waktu untuk bersenang-senang dengan minum tuak dan sebagainya.” “Tetapi jika ada yang mabuk?” “Ki Sela Aji, kami bukan anak-anak lagi. Kami sudah terbiasa minum tuak. Kami dapat menjaga diri kami.” “Ki Murdaka berkeberatan jika kalian minum tuak.” “Katakan kepada Ki Murdaka, agar Ki Murdaka ikut minum bersama kami.” “Tetapi Ki Saba Lintang pun berkeberatan jika kalian bermabuk-mabukan di sini, di Seca. Di tempat yang sedang kami persiapkan untuk menjadi salah satu landasan bagi perguruan kami.” Orang yang sudah separuh baya itu tertawa. Katanya, “Jika kau laporkan hal ini kepada Ki Saba Lintang, maka kau tentu akan ditertawakannya.” Ki Sela Aji tidak dapat memaksa. Orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang menjadi salah seorang pembantu Ki Saba Lintang memimpin Perguruan Kedung Jati. Ternyata seorang kawan Sutasuni telah mendengar pembicaraan itu. Karena itu, maka orang itu pun segera mendatangi Ki Sutasuni di biliknya. Orang itu terkejut ketika ia melihat ada dua orang laki laki dan perempuan yang berada di dalam bilik itu pula. “Katakan. Mereka ada di pihak kita,” desis Sutasumi Orang itu masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Yang berada di penginapan ini adalah para pengikut Ki Saba Lintang dari Perguruan Kedung Jati.” “He? Perguruan Kedung Jati?” “Ya.” “Dari mana kau tahu?” “Aku mendengar pembicaraan mereka di pendapa. Seorang yang agaknya mendapat tugas untuk mengawasi para pengikut Ki Saba Lintang itu mencegah agar mereka tidak bermabuk-mabukan. Tetapi orang-orang yang berada di pendapa itu tidak mau mendengarkan.” Wajah Sutasuni menjadi tegang. Dengan suara berat dan dalam ia pun berdesis, “Jadi mereka yang berada di Seca sekarang adalah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati?” Tiba-tiba saja Glagah Putih pun bertanya, “Kenapa jika mereka dari Perguruan Kedung Jati?” “Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar. Bahkan perguruan yang pengaruhnya hampir sama besarnya dengan pengaruh Mataram sendiri.” “Ah,” desah Glagah Putih. “Kau harus percaya. Banyak perguruan-perguruan kecil yang berhimpun menyatu dengan Perguruan Kedung Jati.” “Kau dan kawan-kawanmu juga?” “Tidak. Jalan kami berbeda. Kami adalah sekelompok orang yang tidak bergabung dengan siapa-siapa.” “Jika demikian, ajak kawan-kawanmu untuk menghancurkan Perguruan Kedung Jati itu sekarang.” “Kami tidak berurusan.” “Jadi apakah urusan kalian di Seca ini? Urusan kalian tentu kelak akan berbenturan dengan kepentingan Ki Saba Lintang.” Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Tidak. Urusan kami tidak akan benturan dengan urusan orang-orang Kedung Jati. Urusan orang-orang dari perguruan Kedung Jati adalah tentang masa depan Mataram dalam hubungannya dengan Jipang dan Demak. Sedangkan urusan kami semata-mata urusan perdagangan.” “Perdagangan? Perdagangan yang berlangsung di bawah permukaan?” Sutasuni mengerutkan dahinya. Namun Glagah Putih pun dengan cepat berkata, “Itu urusanmu. Aku hanya ingin bergabung untuk mengajari orang-orang yang ada di penginapan ini agar mereka mengerti sedikit unggah-ungguh. Tetapi sudah tentu tidak akan dapat kami lakukan tanpa orang lain.” “Baik. Aku pun ingin memberi sedikit pelajaran kepada mereka. Meskipun mereka dari Perguruan Kedung Jati, tetapi persoalannya bukan persoalan kelompokku dengan Perguruan Kedung Jati. Tetapi aku ingin memberi peringatan kepada mereka, bahwa mereka tidak berada di rumah kakeknya sendiri. Bahkan pemimpin mereka sendiri menjadi marah melihat tingkah laku mereka. Dengan demikian, jika kita berkelahi dengan mereka, maka para pemimpin mereka tentu tidak akan membantu mereka. Bahkan para pemimpin mereka tentu akan berusaha berusaha mencegah mereka dan mungkin menghukum mereka. Tidak akan ada akibat buruk yang akan terjadi pada kelompokku yang ditimbulkan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Apalagi mereka juga tidak tahu, siapakah kami ini.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, seperti yang diduga oleh Ki Sela Aji, maka beberapa orang kawannya yang sedang minum tuak di pendapa pun menjadi mabuk. Dengan marah Ki Sela Aji pun kemudian membentak-bentak mereka, dan memaksa mereka masuk ke dalam bilik mereka masing-masing. “Aku sudah memperingatkan kalian agar kalian tidak minum tuak.” Tetapi orang yang sudah separuh baya, yang ternyata tidak mabuk meskipun ia minum tuak terbanyak, menjawab, “Inilah laki-laki, Sela Aji. Tuak adalah minuman yang wajar bagi laki-laki. Mereka harus banyak-banyak minum agar mereka tidak mudah menjadi mabuk. Jika mereka selalu kau kekang, maka mereka benar-benar akan menjadi pemabuk.” “Terserah apa yang akan kalian lakukan pada saat-saat kalian tidak sedang mengemban tugas.” Orang itu tertawa. Katanya, “Kau ajari mereka menjadi perempuan. Perempuan pun perempuan cengeng. Seharusnya kau tidak usah terlalu tunduk kepada Murdaka.” “la memerintahkan agar aku menjaga tingkah laku saudara-saudara kita, atas nama Ki Saba Lintang sendiri.” “Tetapi kau tidak boleh memperlakukan kami seperti kanak-kanak.” “Bagaimanapun juga, kita harus menjaga agar kita dapat menjalankan tugas kita dengan baik. Kita tidak boleh memberikan gambaran buruk tentang tingkah laku kita kepada orang-orang Seca. Pada saatnya kita akan membuat landasan bagi perguruan kita di tempat ini, sehingga keberadaan kita di sini tidak akan menggoyahkan ketenangan dan kedamaian hidup di sini.” Orang yang sudah separuh baya, yang tidak mabuk itu pun kemudian melangkah pergi sambil bergumam, “Sulit bekerja sama dengan orang-orang muda yang merasa dirinya berkuasa.” Ki Sela Aji tidak menyahut. Dibiarkannya orang-orang itu bergeremang sambil berjalan menuju ke biliknya. Namun dalam pada itu, kedua orang yang berada di bilik yang beradu dinding dengan bilik Sutasuni itu pun telah mabuk pula. Dalam keadaan tidak mabuk saja, mereka sudah sangat mengganggu. Apalagi ketika kedua-duanya menjadi mabuk, sehingga tingkah laku mereka sangat tidak terkendali. Sutasuni menjadi sangat tidak senang terhadap sikap mereka. Ia benar-benar merasa terganggu. Sehingga karena itu. maka ia pun berkata kepada kawannya, “Siapkan kawan-kawan kita yang bersedia membantu. Kita akan membungkam mereka yang berteriak-teriak. Bukankah mereka yang ada di penginapan ini tidak terlalu banyak, sehingga apa yang akan kita lakukan itu tentu akan mendapat perhatian para pemimpin mereka?” Tetapi kawannya menjadi ragu-ragu. Katanya, “Tetapi mereka adalah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, Ki Sutasuni.” “Aku tidak peduli.” “Jika terjadi perselisihan dan bahkan perkelahian, mungkin sekali pemimpin-pemimpin mereka akan menjadi marah kepada orang-orang yang mabuk itu. Tetapi mereka pun tentu akan mencari Ki Sutasuni.” “Aku akan pergi dari penginapan ini. Kau kira aku dapat bermalam dengan tenang di sini?” “Pergi ke mana?” “Hari pasaran telah lewat. Tentu ada penginapan yang mempunyai bilik yang kosong.” “Mereka akan menyebar dan memasuki setiap penginapan.” “Aku akan tidur di pategalan. Bukankah kita terbiasa melakukannya? Kita memang dapat bermanja-manja di sini. Tetapi kita pada dasarnya adalah bukan orang-orang yang manja.” Kawan Sutasuni itu masih saja ragu-ragu. Namun Sutasuni pun membentak, “Cepat! Kau dengar suara-suara gaduh yang semakin keras itu? Aku sangat membencinya.” Kawan Sutasuni itu tidak sempat berpikir lagi. Ia pun segera pergi untuk memanggil beberapa orang kawan yang menginap di penginapan lain, yang tersebar untuk menghindari perhatian orang terhadap gerombolan Ki Panji Kukuh. Setelah gerombolan Ki Guntur Ketiga di hancurkan oleh Ki Panji Kukuh, belum ada gerombolan lain yang dapat menyainginya, sehingga perdagangan gelap di bawah permukaan di Seca itu seakan-akan dikuasainya sepenuhnya. Jika ada kelompok-kelompok kecil yang menghubunginya, maka kelompok-kelompok itu berada di bawah kendalinya. Kawan Sutasuni tidak memerlukan waktu banyak. Beberapa saat kemudian, orang itu sudah kembali sambil berkata, “Beberapa orang itu sudah siap di luar penginapan. Mereka akan masuk jika suasana sudah menjadi gaduh.” Sutasuni menarik nafas panjang. Ia pun berpaling kepada Glagah Putih dan Rara Wulan sambil berkata, “Nah, apakah kau benar-benar mau ikut atau tidak? Tetapi ini bukan permainan sur kulon sur wetan di halaman pada saat terang bulan. Kami benar-benar akan berkelahi. Jika kalian merasa tidak mampu melindungi diri sendiri, sebaiknya kalian tidak usah ikut. Masih ada waktu untuk meninggalkan penginapan ini, atau kembali ke bilik kalian.” “Tidak,” jawab Glagah Putih, “kami sudah memutuskan untuk ikut bersama kalian.” “Tetapi kami tidak akan sempat melindungi kalian. Jika terjadi sesuatu atas kalian, itu adalah tanggung jawab kalian sendiri.” “Ya. Mereka telah meremehkan istriku. Aku ingin menghajar mereka. Tetapi tentu tidak dapat kami lakukan hanya berdua saja.” “Baik. Ikutlah jika kalian mau ikut. Tetapi kalian harus melindungi keselamatan kalian sendiri.” Sejenak kemudian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya telah keluar dari biliknya. Di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya. Ternyata yang menjadi ramai, ribut oleh igauan dan suara-suara gaduh tidak hanya di bilik sebelah bilik Sutasuni. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pungut sudah tidak mampu lagi menguasai mereka yang sedang mabuk. Apalagi beberapa orang yang baru datang di Seca bersama Ki Saba Lintang sendiri dan ditempatkan di penginapan itu. Sutasuni sangat benci suasana seperti itu. Karena itu ketika orang yang berada di bilik di sebelah biliknya itu meneriakkan tembang dengan irama yang sama sekali tidak mapan, Sutasuni telah mengetuk pintu biliknya. Tidak dengan tangannya, tetapi dengan batu sebesar telur itik. “He, diam kau, pemabuk!” teriak Sutasuni yang marah. Orang yang berada di dalam bilik itu terkejut juga meskipun mereka sedang mabuk. Kesadarannya masih tetap ada meskipun sudah tidak lurus lagi. Karena itu, maka orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian terdengar kedua orang yang sedang ada di dalam berteriak hampir berbareng, “He, iblis manakah yang telah berani mengganggu ketenangan kami?” “Kalian-lah yang telah mengganggu orang lain. Kemarin malam sebelum kau mabuk, kau sudah mengganggu. Apalagi sekarang setelah kalian mabuk.” “Aku tidak mabuk,” terdengar seorang menjawab dengan suara parau. Tetapi yang seorang lagi agaknya tidak dapat mengekang diri. Dalam mabuknya orang itu menjadi marah. Sambil mengumpat-umpat diangkatnya selarak pintunya. “Aku bunuh kau!” teriaknya kemudian. Begitu pintu terbuka, orang itu pun segera mengayunkan selarak pintu yang ada di tangannya itu ke arah kepala Sutasuni. Namun Sutasuni sudah bersiap menghadapi kemungkinan itu. Ketika selarak pintu itu terayun, maka Sutasuni pun segera mengelak. Tetapi demikian selarak pintu itu terayun tanpa menyentuh tubuhnya, Sutasuni pun segera melontarkan serangan. Kakinya terjulur lurus mengenai orang itu, sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Orang itu terdorong kembali masuk ke dalam biliknya, menimpa kawannya yang sedang bergerak keluar. Keduanya pun terjatuh saling menindih di dalam biliknya. Tetapi keduanya dengan cepat bangkit sambil berteriak-teriak marah. Dengan garangnya keduanya pun segera meloncat keluar. Mereka pun dengan serta merta telah menyerang Sutasuni sambil berteriak-teriak kasar. Beberapa orang kawannya memang belum tidur. Ada di antara mereka yang mabuk, setengah mabuk, atau mereka yang kesadarannya masih utuh tetapi kepalanya mulai terasa pening. Ketika mereka mendengar kegaduhan itu. maka mereka pun segera berlari-larian keluar dari bilik mereka. Beberapa orang yang berdatangan itu ternyata sama sekali tidak berniat melerai perkelahian. Tetapi mereka pun segera membantu kawannya menyerang Sutasuni. Dengan demikian maka kedua orang kawan Sutasuni pun segera melibatkan diri mereka. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiam diri. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu pun menjadi semakin banyak. Dengan demikian, maka Sutasuni dan kedua orang kawannya segera mengalami kesulitan. Apalagi orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu pada dasarnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kawan-kawan Sutasuni yang lain masih berada di luar halaman penginapan. Karena itu, maka seperti yang dijanjikan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera memasuki arena perkelahian. Dengan tangkasnya mereka berdua berloncatan di antara orang-orang yang berilmu tinggi itu. Sutasuni dan kawan-kawannya memang agak terkejut. Mereka tidak mengira bahwa Glagah Putih dan istrinya adalah orang-orang yang memiliki bekal kanuragan yang tinggi, sehingga di antara para pengikut Ki Saba Lintang itu, Glagah Putih mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan demikian pula istrinya. Karena itu, maka Sutasuni pun menjadi semakin mantap. Dengan garang Sutasuni menyerang orang-orang yang sedang mabuk dan setengah mabuk itu. Apalagi ketika beberapa orang kawannya berdatangan memasuki halaman penginapan itu, sehingga perkelahian itu pun semakin seru. Petugas di penginapan itu pun telah datang pula. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang. Mereka berusaha untuk melerai perkelahian itu. Sambil berteriak-teriak mereka menyibak orang-orang yang sedang terlibat dalam perkelahian yang menjadi semakin sengit. Tetapi para petugas yang meskipun memiliki bekal serba sedikit dalam olah kanuragan itu, tidak mampu berbuat apa-apa. Ketika orang-orang yang terlibat dalam perkelahian meningkatkan kemampuan mereka, maka para petugas itu justru harus menepi, karena perkelahian itu akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka. Orang yang di pringgitan menggamit Rara Wulan dan bertanya namanya, telah berada di arena perkelahian itu pula. la memang menjadi heran, bahwa perempuan itu terlibat dalam perkelahian itu pula. Dengan mulut yang berbau tuak, orang itu mencoba untuk memanfaatkan kegaduhan itu. Karena itu, maka orang itu sengaja menyelinap di antara kawan-kawannya, mendekati Rara Wulan Tiba-tiba saja orang itu telah menyergap Rara Wulan dan langsung menyekapnya dari belakang, pada saat Rara Wulan sedang menghindari serangan salah seorang pengikut Ki Saba Lintang. Rara Wulan terkejut. Dengan gerak naluriah sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka dengan bertumpu sedikit pada pijakan kakinya, Rara Wulan telah menghantam lawannya dengan sikunya tepat di arah ulu hati. Orang yang menyekap Rara Wulan itu terkejut. la tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak secepat itu. Karena itu, maka dekapannya pun terlepas, dan bahkan sambil menyeringai kesakitan orang itu terdorong surat selangkah. Sementara Rara Wulan pun bergerak selangkah pula maju. Dalam pada itu, selagi orang itu belum sempat memperbaiki keadaannya, Rara Wulan telah melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya bergerak mendatar menyambar dagu orang itu. Orang itu sama sekali tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ia terlempar beberapa langkah dan kemudian jatuh terbanting di tanah. Orang itu berusaha untuk bangkit berdiri, tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit di dagu dan arah ulu hatinya, sehingga nafasnya terasa sesak. Namun Rara Wulan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi terhadap orang itu. Seorang yang lebih muda dati orang itu pun telah menyerangnya pula. Namun Rara Wulan telah bersiap menghadapinya. Sementara itu, perkelahian pun menjadi semakin sengit. Sutasuni dan kawan-kawan sempat merasa heran melihat Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dari kebanyakan para pengikut Ki Panji Kukuh. Bahkan kemampuan keduanya pun tidak lebih rendah dari kemampuan Sutasuni sendiri. Sejenak kemudian perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut agaknya terlambat mendatangi arena perkelahian itu, sehingga perkelahian itu sudah merambat ke halaman. Beberapa orang kawan Sutasuni telah melibatkan diri pula, berkelahi melawan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Di halaman, Glagah Putih dan Rara Wulan justru nampak lebih garang dari kawan-kawan Sutasuni dan bahkan Sutasuni sendiri. Beberapa orang yang berkelahi bersama-sama melawannya sulit untuk dapat bertahan terlalu lama. Bergantian mereka terlempar dari arena dan jatuh berguling-guling di halaman. Ketika Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut sampai di halaman, maka mereka pun segera berteriak-teriak serta mencoba menghentikan perkelahian itu. “Berhenti! Berhentilah, pemabuk!” teriak Ki Sela Aji. “Aku akan membunuh mereka,” teriak orang yang sudah separuh baya, yang datang di Seca kemudian bersama Ki Saba Lintang. “Tidak, berhentilah.” “Aku tidak mabuk, Sela Aji. Aku tahu itu. Tetapi aku tidak senang diperlakukan seperti ini oleh orang-orang sombong yang merasa dirinya memiliki kademangan ini.” “Kita akan membicarakannya.” “Itu tidak perlu!” Sutasuni berteriak, “Mereka telah mengganggu kami!” Ki Sela Aji menjadi kebingungan. Ki Demung Pugut pun berteriak-teriak pula. “Berhentilah! Nanti kita akan menyelesaikan persoalannya.” Tetapi orang-orang yang berkelahi itu tidak mau berhenti. Bahkan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta datang dari sebuah perguruan yang besar, ingin menunjukkan kebesaran mereka. Menurut pendapat mereka, orang-orang lain-lah yang harus mengalah dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berbuat apa saja sesuka hati mereka. Ternyata Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut tidak mampu lagi melerai mereka yang berkelahi. Para petugas penginapan itu pun telah mencoba pula membantu Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut. Mereka ikut berteriak-teriak agar perkelahian itu berhenti. Tetapi mereka pun tidak berhasil pula. Dalam pada itu, Sutasuni yang merasa sangat terganggu itu pun telah berkelahi dengan meningkatkan kemampuannya pula. Ia sadar bahwa yang dilawan adalah orang-orang dari sebuah perguruan yang besar. Orang-orang yang tentu berilmu tinggi. Namun dalam pada itu, Sutasuni itu sempat mengagumi Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya berkelahi dengan garangnya. Kemampuan mereka benar-benar cukup tinggi, sehingga dapat mengimbangi lawan-lawan mereka. Namun lawan semakin lama semakin banyak. Sutasuni pun merasa bahwa bersama kawan-kawannya mulai mengalami kesulitan. Hanya Glagah Putih dan Rara Wulan sajalah yang masih mampu berloncatan kesana-kemari. Kemampuan lawan-lawan mereka sama sekali tidak membatasi gerak kedua orang suami istri itu. Namun akhirnya Sutasuni pun berkata dengan suara lantang, “Tinggalkan tempat ini! Kita sudah menyatakan sikap kita. Biarlah para petugas serta pemilik penginapan ini yang nanti menertibkan mereka yang tidak mempunyai tatanan. Yang sama sekali tidak menghargai orang lain. Seca akan menjadi neraka jika mereka itu akan tinggal di lingkungan ini.” “Tidak! Jangan salah paham!” teriak Ki Sela Aji. Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan lagi. la pun kemudian memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu. “Kita mencari penginapan lain yang lebih tertib dari penginapan ini.” “Tunggu, Ki Sanak. Aku akan berbicara!” teriak Ki Sela Aji pula. Tetapi Sutasuni tidak menghiraukan. Ia sempat berkata kepada Glagah Putih, “Ki Sanak. Ajak istrimu pergi meninggalkan penginapan yang ribut ini.” Tidak ada yang dapat mencegah lagi. Mereka segera bergeser menuju ke pintu regol halaman yang terbuka. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut pun berlari ke pintu regol itu pula. Ketika Sutasuni dan kawan-kawannya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol, maka Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut mencoba untuk menghalangi kawan-kawan mereka yang akan mengejar keluar regol. “Jangan keluar regol halaman. Jangan berkelahi di luar. Kalian akan merusak ketenangan hidup orang-orang Seca yang selama ini mereka pertahankan.” Orang-orang yang sedang mabuk, setengah mabuk dan yang tidak mabuk sama sekali, memang berhenti di pintu. Sementara Ki Sela Aji pun berteriak pula, “Kembali ke bilik kalian masing-masing! Jaga ketenangan penginapan ini. Jangan mengganggu orang lain yang juga sedang menginap di penginapan ini.” “Mereka harus diajar untuk menghormati kita. Bukankah kita orang-orang dari Perguruan Kedung Jati yang besar?” “Agar kita dihormati, maka kita pun harus menghormati orang lain.” Orang yang sudah separuh baya itu menyahut, “Kita-lah yang terbesar. Orang lain yang harus menghormati kita. Jika perlu, kita akan memaksa mereka dengan kuasa yang ada pada kita.” “Bukan begitu maksud Ki Saba Lintang. Khususnya di kademangan ini.” Dalam pada itu, selagi mereka masih berbantah di dalam regol halaman penginapan, sekelompok petugas dari Seca telah berdatangan. Mereka adalah petugas yang dibentuk oleh Ki Demang Seca untuk tetap mempertahankan keamanan di kademangan itu. Tetapi orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu telah meremehkan mereka. Dengan nada tinggi seorang berkata, “Suruh mereka mencuci mangkuk dan menimba air di pakiwan.” “Diam!” teriak Ki Sela Aji yang menjadi benar-benar marah. Sementara Ki Demung Pugut pun berteriak pula, “Apa yang kalian lakukan akan kami laporkan kepada Ki Saba Lintang. Kau kira Ki Saba Lintang tidak memperdulikan tingkah laku kalian di tempat yang lain. Tetapi tidak di Seca ini.” Sementara itu pemimpin sekelompok petugas dari kademangan itu pun menemui Sela Aji sambil bertanya, “Apa yang terjadi di sini, Ki Sanak?” Ternyata salah seorang petugas di penginapan itu telah melaporkan apa yang telah terjadi di penginapan itu kepada para petugas. “Hanya sedikit salah paham, Ki Sanak,” jawab Ki Sela Aji, “seseorang meresa terganggu oleh orang lain.” Pemimpin sekelompok petugas dari kademangan Seca itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu ia pun bertanya pula, “Tetapi terjadi perkelahian antar kelompok melawan kelompok.” “Ya,” jawab Ki Demung Pugut, “semula hanya dua orang yang biliknya bersebelahan. Yang satu merasa terganggu oleh yang lain. Terjadi perselisihan. Perselisihan itu berkembang demikian cepatnya, sehingga petugas di penginapan ini tidak sempat melerainya. Kawan-kawan mereka yang terlibat dalam pertengkaran itu saling membantu, sehingga akhirnya terjadi perkelahian antara kelompok melawan kelompok. Tetapi seperti yang Ki Sanak lihat, perkelahian itu sudah selesai. Sekelompok di antara mereka yang berselisih telah meninggalkan halaman penginapan ini.” “Mereka pergi ke mana?” “Tentu saja kami tidak tahu,” jawab Ki Sela Aji. “Yang pergi itu orang yang merasa terganggu, atau justru orang yang dianggap mengganggu?” “Mereka adalah orang yang merasa terganggu.” Pemimpin sekelompok petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian persoalannya sudah selesai. Orang-orang yang merasa terganggu itu sudah meninggalkan penginapan ini.” “Aku tidak tahu, apakah mereka akan kembali atau tidak. Mungkin mereka akan kembali membawa kawan-kawan mereka.” “Mudah-mudahan tidak,” jawab pemimpin sekelompok petugas itu. “Meskipun demikian, kami akan selalu mengawasi penginapan ini. Jika terjadi kerusuhan lagi, biarlah petugas penginapan ini memukul kentongan. Namun aku minta, orang-orang yang bermalam di penginapan ini dapat saling menjaga. Bertimbang rasa-lah, sehingga tidak akan terjadi kerusuhan-kerusuhan. Selama ini Seca adalah sebuah kademangan yang aman.” “Baik, Ki Sanak. Kami akan mencoba menjaga agar kami tidak mengganggu orang lain.” Para petugas kademangan itu pun kemudian telah meninggalkan penginapan itu. Kepada petugas di penginapan itu, pemimpin sekelompok petugas itu pun berkata, “Jaga penginapanmu dengan baik. Jika terjadi kekisruhan lagi, bunyikan kentongan. Kami akan segera datang.” “Baik, Ki Sanak,” jawab salah seorang petugas di penginapan itu. Sejenak kemudian, para petugas itu pun meninggalkan regol halaman penginapan. Sementara itu, seorang yang berkumis lebat bertanya kepada kawannya, “Gerombolan tikus-tikus itu tadi ingin menertibkan kita?” Mendengar pertanyaan itu, beberapa orang pun tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kami menghormati tugas-tugas mereka. Karena itu, kita tidak akan mengganggunya.” Namun Ki Sela Aji pun membentak, “Mereka adalah orang-orang yang terlatih.” Tetapi beberapa orang masih saja mentertawakannya. Wajah Ki Sela Aji menjadi merah. Tetapi Ki Demung Pugut yang lebih tua berkata, “Sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Jantungmu akan dapat berhenti berdetak.” “Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi kata-kataku.” “Bukankah kau sudah bertahun-tahun bergaul dengan mereka?” “Tetapi kali ini kita mengemban tugas agak berbeda. Seharusnya mereka dapat mengerti.” “Mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak sendiri. Jangan hiraukan mereka lagi.” Ki Sela Aji menarik nafas panjang. Bersama Ki Demung Pugut, Ki Sela Aji pun segera meninggalkan regol dan ke pendapa, langsung menuju biliknya. Namun bilik di sebelahnya itu pun sudah kosong. Ketika Ki Sela Aji menjenguk lewat daun pintu yang terbuka, di dalam bilik sebelahnya itu tidak lagi terdapat seorangpun. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang meninggalkan penginapannya, mengikuti Sutasuni dan kawan-kawannya. Ternyata mereka tidak berada di satu penginapan. Beberapa orang menginap di penginapan di sebelah barat pasar. Yang lain di penginapan yang kurang terpelihara di sebelah selatan pasar. Penginapan yang sekedarnya saja dipergunakan untuk meletakkan tubuh di amben besar yang dipergunakan untuk beberapa orang sekaligus. “Aku akan langsung menghadap Ki Panji Kukuh,” berkata Sutasuni. “Bagaimana dengan kami?” bertanya Glagah Putih. “Apa rencanamu selanjutnya?” Sutasuni justru bertanya. “Aku tidak punya rencana apa-apa.” “Jadi untuk apa kau berada di Seca?” “Kami berdua adalah pengembara. Kami mengembara dari satu tempat ke tempat lain.” “Kalian tidak terikat dengan siapapun?” “Tidak. Kami tidak terikat dengan siapa-siapa . Terakhir kami mencoba berhubungan dengan Jati Ngarang. Tetapi ternyata di Seca kami tidak dapat menemuinya. Aku sudah dua kali pasaran berkeliaran di pasar di sini.” “Jati Ngarang? Untuk apa?” “Kau kenal dengan Jati Ngarang?” “Pencuri ayam dan jemuran itu. Untuk apa kau berhubungan dengan sejenis kecoa itu?” “Jati Ngarang menawarkan hubungan perdagangan yang menarik buat kami berdua.” “Tinggalkan Jati Ngarang. Jika kau mau, ikut aku.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara Sutasuni berkata, “Kalian berdua adalah orang-orang berilmu tinggi. Kalian pantas berada di dalam lingkungan yang terhormat. Kenapa kalian memilih berhubungan dengan Jati Ngarang yang berada di luar hitungan itu?” “Kami baru akan mulai. Kami tidak tahu jalur yang lebih pantas dari Jati Ngarang.” Sutasuni termangu-mangu sejenak. la sudah melihat bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Keduanya mampu bertempur dengan garang melawan orang-orang dari perguruan yang besar, Kedung Jati. Kedua orang itu sama sekali tidak menjadi gentar, sementara di dalam pertarungan keduanya mampu menunjukkan kelebihan mereka. “Ki Sanak,” berkata Sutasuni, “jika bersedia bersama kami, aku akan menyampaikannya kepada Ki Panji Kukuh.” “Maksud Ki Sanak?” “Daripada kalian berhubungan dengan cecurut seperti Jati Ngarang, aku kira lebih baik kalian berada di dalam lingkungan kami.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kepada Rara Wulan, Glagah Putih itu pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu?” “Kita akan melihat dahulu, apakah kita sesuai atau tidak. Selama ini kita tidak pernah merasa terikat dengan siapapun,” jawab Rara Wulan. “Dalam perdagangan gelap, dapat saja seseorang tidak terikat dengan siapapun. Tetapi dengan demikian tidak ada satu lingkungan yang akan dapat melindunginya. Dalam perdagangan gelap, orang-orang yang demikian biasanya akan hilang begitu saja, tanpa ada yang mengetahui kemana perginya. Untuk selamanya ia tidak akan pernah muncul kembali.” “Jika orang itu tidak merugikan segala pihak?” “Mereka dapat menjadi ular berkepala bukan hanya dua. Meskipun mula-mula tidak ada niat untuk berbuat seperti itu, namun akhirnya orang-orang yang tanpa ikatan itu akan memilih kaitan yang terbaik bagi diri mereka. Nah, pada saat-saat yang demikian itulah, maka orang-orang yang merasa dirinya tanpa ikatan itu akan hilang.” Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak Namun akhirnya Glagah Putih mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Kami setuju bergabung dengan kalian.” “Baik. Aku akan menyampaikan kepada Ki Panji Kukuh. Siapakah sebutan kalian yang pantas aku sampaikan kepada Ki Panji?” “Kenapa dengan sebutan itu?” “Jarang sekali orang menyebutkan namanya sendiri yang sebenarnya. Biasanya mereka memilih nama yang dapat memberikan dukungan bagi kerja yang dilakukannya.” “Apakah namamu juga bukan namamu sendiri?” “Namaku memang Sutasuni. Aku tidak dapat membuat nama lain yang lebih baik dari namaku sendiri.” “Ki Panji Kukuh?” “Itu bukan namanya sendiri. Tetapi kita tahu, bahwa orang itulah yang dimaksud dengan Ki Panji Kukuh.” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku lebih senang memakai namaku sendiri, meskipun barangkali tidak terasa garang.” “Siapa namamu?” “Carangkerep. Aku tidak tahu kenapa orang tuaku memberiku nama Carangkerep Tetapi aku sering juga dipanggil Nagagundala.” “Bagus. Kami akan memanggilmu Nagagundala. Nama itu lebih seram.” “Apakah aku pantas disebut Nagagundala?” “Ujudmu memang tidak. Tetapi ilmumu akan dapat mengejutkan lawan-lawanmu.” “Terserah sajalah.” “Istrimu?” “Namanya sendiri Mawanti. Tetapi panggil saja Nyi Nagagundala.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Suaminya sering memakai nama lain, tetapi selalu berganti-ganti, sehingga setiap kali ia harus mengingat-ingat siapakah namanya pada satu saat. “Baik, baik. Aku akan menghubungi Ki Panji Kukuh. Kau tunggu saja di sini.” “Di sini?” Sutasuni pun kemudian berkata kepada seorang kawannya, “Bawa Ki Nagagundala ini ke penginapanmu.” “Istrinya?” “Ya. Kedua-duanya.” “Tetapi keberadaan Nyi Nagagundala akan membuat penginapan itu gaduh. Tidak ada seorang perempuan pun menginap di penginapan sebelah selatan pasar itu. Di sana hanya ada beberapa amben panjang di barak yang luas memanjang.” “Tidak apa-apa. Aku akan berbicara dengan Ki Panji Kukuh.” “Baik. Tetapi kami akan menunggu di luar regol halaman penginapan.” “Terserah kepadamu.” Sutasuni itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersama dua orang kawannya. Mereka pergi ke penginapan di sebelah selatan pasar. Tetapi seperti yang dikatakan kawan Sutasuni, mereka tidak masuk ke dalam penginapan itu, agar keberadaan Rara Wulan tidak menarik perhatian. Beberapa lama mereka berada di halaman penginapan yang sudah sepi itu. Dalam kegelapan, tidak segera nampak perbedaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara itu, petugas di penginapan itu pun tidak bekerja setertib petugas di penginapan yang ditinggalkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan setelah lewat tengah malam, mereka pun telah tidur mendengkur di gardu di sebelah sayap kanan penginapan itu. “Apakah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu tidak akan mencari kita sampai kemari?” bertanya Glagah Putih. “Nampaknya tidak. Orang yang mengawasi keberadaan mereka di Seca agaknya tidak akan membiarkan orang-orangnya itu mencari kita.” Glagah Putih terdiam. Rara Wulan-lah yang kemudian berdesis, “Setelah kita pergi, maka mereka akan berbuat sekehendak hati di penginapan itu. Orang-orang yang mabuk dan setengah mabuk itu akan menjadi semakin mabuk. Agaknya Ki Sela Aji dan Ki Demang Pugut sudah tidak berdaya lagi.” “Ya, mereka akan tenggelam dalam dunia yang lain di dalam alam mabuk mereka.” Tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, “Malam ini adalah malam yang mengandung seribu kemungkinan.” Rara Wulan tidak menjawab, la hanya menarik nafas panjang sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sementara itu, Sutasuni telah menemui Ki Panji Kukuh yang berada di penginapan di sebelah barat pasar. Kedatangan Sutasuni agaknya telah mengejutkannya. Sambil mengusap matanya yang sudah terpejam beberapa saat, ia pun bertanya, “Ada apa malam-malam begini kau mencari aku?” “Kami telah berkelahi, Ki Panji.” “Berkelahi dengan siapa, dan ada persoalan apa?” “Persoalannya sebenarnya tidak penting. Tetapi orang itu sangat menjengkelkan.” “Katakan, apa yang terjadi.” Sutasuni pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi. “Orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu sangat menjengkelkan. Aku tidak tahan lagi.” “Kau membuka permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati? Jika itu yang kau lakukan, maka kau telah memanggil bencana. Mungkin tidak hanya bagi dirimu sendiri, tetapi bagi kita semuanya.” “Mereka tidak tahu siapa kami yang telah berkelahi dengan mereka di penginapan itu.” “Tetapi mereka akan segera mengetahuinya. Bukankah mereka akan berada di sini untuk beberapa hari?” “Kami tidak tahu, Ki Panji. Tetapi agaknya memang begitu. Mereka sedang mengamati Kademangan Seca. Mungkin mereka akan menjadikan kademangan ini salah satu landasan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali Perguruan Kedung Jati.” “Jika mereka menemukan kalian, maka kalian akan menjadi debu.” “Tentu tidak malam ini, Ki Panji. Tetapi jika itu terjadi pada kesempatan lain, kami memang akan menjadi debu.” “Pikirkan itu. Apakah kau akan pergi meninggalkan Seca, atau kalian mempunyai pertimbangan lain?” Sutasuni menggeleng. Namun seperti yang sudah disinggungnya serba sedikit, maka Sutasuni itu pun mengulanginya, “Bagaimana dengan sepasang suami istri yang aku sebutkan itu? Nampaknya mereka masih sangat lugu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah akan memiliki bekal yang lengkap, apa yang harus mereka lakukan jika mereka berada di lingkungan kita.” “Kau percaya kepada sepasang suami istri itu?” “Ya. Aku mempercayai mereka.” “Kau belum menyebutkan namanya.” “Namanya Carangkerep. Tetapi dengan bangga ia sebut dirinya Nagagundala.” “Nagagundala?” “Ya. Ki Panji.” “Darimana ia mendapatkan nama yang seram itu?” “Entahlah. Mungkin ia pernah mendengar nama seperti itu. Yang ia tahu, nama itu baik dan memberikan kesan yang garang.” “Baiklah. Bukankah kita tidak akan mengecewakannya hanya karena pilihan namanya? Mungkin banyak di antara kita yang mempunyai nama sampai dua atau tiga.” “Bahkan nama Ki Panji sendiri.” “Hus! Kau tidak usah berkata begitu ” “Maaf, Ki Panji.” “Aku memakai namaku dengan resmi. Bukankah saat itu, kita yang masih bersarang di hutan dan di goa-goa, aku memerintahkan untuk membuat jenang abang, jenang putih dan jenang baro-baro serta jajan pasar, untuk meresmikan namaku? Ki Panji Kukuh.” “Tetapi Ki Panji sudah memakai nama yang lain sebelumnya.” “Sudah, sudah. Apa peduli kita tentang nama. Yang penting, kau berani mempertanggungjawabkan keberadaannya di antara kita?” “Aku akan bertanggung jawab Ki Panji.” “Jika demikian, panggil sepasang suami istri itu kemari.” “Baik, Ki Panji.” Sutasuni pun kemudian meninggalkan Ki Panji. Sementara kawannya yang tidak ikut bersama Sutasuni, masih sempat menceritakan kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Panji Kukuh di penginapannya. Mereka berada di sebuah bilik yang khusus, satu-satunya bilik yang terpisah dari ruangan-ruangan yang panjang yang berisi amben-amben yang panjang pula. “Kalian tertarik untuk ikut bersama kami dalam pekerjaan kami yang berat dan bahkan mempertaruhkan nyawa?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tertarik kepada pekerjaan yang mempunyai tantangan yang tinggi. Demikian pula istriku. Kami berdua ingin memanfaatkan ilmu yang telah beberapa tahun kami pelajari.” “Dimana kalian berdua berguru?” “Kami berguru di Bukit Wahyu.” “Bukit Wahyu? Aku belum pernah mendengar nama bukit itu.” “Salah satu puncak bukit di daerah Pegunungan Kidul. Sebuah bukit karang yang satu sisinya menghadap ke laut. Di Bukit Wahyu ada sebuah goa yang cukup luas. Disitulah guruku tinggal. Sedangkan padepokan Cahya Andadari yang dipimpin oleh guruku itu terletak di sekitarnya. Kami para cantrik harus mencari tempat berteduh kami sendiri-sendiri dalam ereng-ereng Bukit Wahyu dan sekitarnya.” Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah nama gurumu yang memimpin padepokan Cahya Andadari itu?” Glagah Putih tidak ingin dicurigai. Karena itu, ia menjawab dengan lancar, “”Namanya Ki Ageng Cahya Raina.” “Cahya Raina,” desis Ki Panji Kukuh. “Semuanya terdengar asing. Kalau aku belum pernah mendengar namamu, itu wajar-wajar saja, karena agaknya kau baru saja memasuki dunia petualangan. Tetapi aku yang sering berkeliaran sampai kemana-mana sebelum aku menemukan jalur perdagangan yang memikat ini, juga belum pernah mendengar nama gurumu.” “Guru adalah seorang yang jarang sekali keluar, Ki Panji. Sejak Guru berada di goanya, seingatku baru sekali menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Waktu itu Guru pergi ke Gresik.” “Gresik? Untuk apa?” “Aku tidak tahu, Ki Panji.” Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Demikian lancarnya Glagah Putih menjawab pertanyaan-pertanyaannya, sehingga sama sekali tidak berkesan bahwa jawaban-jawaban itu hanyalah sekedar isapan jempol saja. Bahkan jika saja Rara Wulan tidak mengetahui sendiri masa-masa lalu Glagah Putih, maka mungkin sekali ia ikut mempercayainya. “Baiklah,” berkata Ki Panji Kukuh kemudian. Lalu katanya, “Menurut laporan Sutasuni, kau telah terlibat dalam perkelahian di penginapanmu?” “Ya, Ki Panji. Orang-orang yang datang kemudian itu mencoba mengganggu istriku. Sementara itu, Ki Sutasuni agaknya juga merasa sangat terganggu, sehingga kami dapat bekerja sama menghadapi mereka.” “Sebelum kalian bertemu dengan Sutasuni. apa sebenarnya yang akan kalian lakukan di Seca ini?” “Kami telah berhubungan dengan Jati Ngarang. Kami ingin ikut serta berada dalam garis perdagangan gelapnya. Jati Ngarang mempunyai sumber yang dapat memberinya pasokan barang-barang terlarang itu.” “Jati Ngarang adalah seekor kecoa kecil bagi perdagangan terlarang ini.” “Ya. Ternyata menurut Ki Sutasuni, Jati Ngarang tidak mempunyai arti apa-apa. Tetapi orang-orang Perguruan Kedung Jati itulah yang harus mendapat perhatian lebih bersungguh-sungguh.” “Kenapa?” “Menurut pendengaranku, yang tadi sudah aku katakan kepada Ki Sutasuni dalam perjalanan kemari, mereka akan membuat salah satu landasan bagi perjuangan mereka.” “Aku yang mengatakan itu kepadamu,” sahut Ki Sutasuni. “O. Maksudku kita sama-sama mendengarnya,” sahut Glagah Putih. “Bukankah salah seorang dari mereka menyebut-nyebutnya, ketika ia berteriak-teriak mengendalikan orang-orangnya yang berkelahi melawan kita?” Ki Panji Kukuh tertawa. Ia mendapat kesan bahwa orang yang menyebut dirinya Nagagundala itu adalah seorang yang lugu. Nampaknya ia memang baru turun dari perguruannya dengan membekali dirinya dengan ilmu yang tinggi. Tetapi pandangannya terhadap dunia yang luas ini masih sangat sempit. “Baiklah,” berkata Ki Panji Kukuh, “aku tidak keberatan kau berada di lingkunganku. Tetapi kau harus menurut segala perintahku, yang kadang-kadang aku berikan lewat Sutasuni.” “Ya, Ki Panji.” “Tetapi untuk sementara kau jangan berada di Seca. Kau dan Sutasuni harus menyingkir untuk dua tiga hari, selama orang-orang dari Perguruan Kedung Jati ada di sini, karena kau dan Sutasuni telah membuka permusuhan dengan mereka. Meskipun persoalannya adalah persoalan yang sangat kecil, tetapi permusuhan itu akan dapat berkembang jika kau bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang. Sementara itu Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang sangat besar.” “Kenapa kita tidak mengusir mereka?” “Mengusir mereka?” Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya. “Ya, mengusir mereka. Bukankah kita dapat melakukannya sekarang?” Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun tertawa. “Kau benar-benar belum mempunyai wawasan sama sekali tentang dunia olah kanuragan. Jika kau ingin melakukankan petualangan, maka kau harus mempelajari dunia yang akan kau ambah, agar kau tidak tersuruk ke dalam serigala yang lapar.” “Tetapi bukankah kita mempunyai kekuatan yang cukup sekarang? Sementara itu, Ki Saba Lintang berada di Seca hanya dengan beberapa orangnya saja, karena mereka mengira bahwa Seca itu aman tanpa ada gejolak?” “Pikirannya masuk akal, Ki Panji,” sahut Sutasuni. “Kau sependapat? Kau ingin membunuh diri dengan memusuhi Perguruan Kedung Jati?” “Ki Panji. Jika kita membunuh ular dengan meremukkan kepalanya, maka tubuh dan ekornya tidak akan berbahaya lagi.” “Apa maksudmu?” “Satu kelemahan dari Ki Saba Lintang. Tetapi barangkali karena ia menganggap bahwa Seca itu adalah daerah yang aman tenteram.” “Jadi?” “Jika benar Ki Saba Lintang akan membuat salah satu landasan bagi perguruannya di Seca, maka jalur perdagangan kita tentu akan berhenti. Lambat atau cepat, Ki Saba Lintang akan mengetahui jalur perdagangan kita itu. Karena itu, sebelum mereka benar-benar membuat landasan di Seca bagi Perguruan Kedung Jati, maka sebaiknya kita menggagalkannya.” “Maksudmu, kita memberikan kesan bahwa Seca tidak aman? Kita akan mengganggu keberadaan Ki Saba Lintang dengan menimbulkan kekacauan di Seca?” “Tetapi tidak tanggung-tanggung, Ki Panji. Kita hancurkan kepala ular yang kita bunuh itu.” Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya. Sementara Glagah Putih berkata, “Jika kita berhasil membunuh Ki Saba Lintang malam ini, maka Perguruan Kedung Jati tentu akan menjadi kacau. Bahkan perguruan manapun yang kehilangan pemimpinnya, akan menjadikan perguruan itu seperti sarang semut ngangrang yang diperciki air. Semut-semut yang garang itu akan buyar dan berlarian kemana-mana tanpa arah.” Ki Panji tertawa. Katanya, “Otakmu terang juga, Carangkerep.” “Gelarku Nagagundala,” sahut Glagah Putih. Ki Panji tertawa semakin keras, sehingga Sutasuni pun berdesis, “Ki Panji dapat mengganggu ketenangan tidur orang lain.” “Bagaimana menurut pendapatmu, Sutasuni?” “Ki Panji. Jika kita berhasil, maka Perguruan Kedung Jati tentu akan pecah. Para pemimpinnya tentu akan berebut, siapakah yang akan menjadi pemimpin tertinggi. Mereka tidak akan sempat mencari keterangan, siapakah yang telah menyerang pada saat mereka berada di Seca. Bahkan beberapa orang akan merasa berterima kasih kepada kita, karena Ki Saba Lintang kita musnahkan, ketika ia sedang lengah dan berada di Seca dengan kekuatan yang kurang memadai.” “Kau tahu, seberapa besar kekuatan Ki Saba Lintang di Seca sekarang ini?” “Sebagian mereka berada di banjar padukuhan, sebagian lagi di penginapan yang sering aku pergunakan itu.” “Apakah menurut perhitunganmu, kekuatan kita cukup untuk menghancurkan mereka, sebagaimana kita membunuh ular?” “Kekuatan mereka terpecah. Kita akan menyerang banjar. Sementara itu, ada tenggang waktu bagi para pengikutnya yang ada di penginapan untuk datang ke banjar.” “Kau sudah perhitungkan para petugas di kademangan ini?” “Mereka tidak akan banyak berpengaruh. Jika orang-orang kita terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan para pengikut Ki Saba Lintang, mereka akan membuat pertimbangan dua tiga kali untuk terjun ke dalamnya.” “Sutasuni, apakah kau yakin akan berhasil?” “Aku yakin, Ki Panji. Apalagi orang-orang yang berada di penginapan itu sedang mabuk. Hampir semuanya. Bagi kita, yang akan kita lakukan adalah satu perjuangan untuk mempertahankan jalur perdagangan kita. Mungkin mereka bahkan tidak sekokoh kekuatan Ki Guntur Ketiga.” “Jika demikian, besok kau persiapkan orang-orang kita. Besok malam kita akan menyerang banjar itu.” “Kenapa besok malam, Ki Panji? Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sebagian besar mabuk. Itu sekarang. Belum tentu besok mereka juga mabuk lagi. Apalagi setelah Ki Saba Lintang sendiri berusaha mencegahnya.” “Jadi menurut pendapatmu, sekarang kita menyerang mereka?” “Ya, sekarang. Mereka tentu benar-benar lengah.” Ki Panji Kukuh nampak ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia pun berkata, “Baiklah. Tetapi kita memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri.” “Masih ada waktu, Ki Panji. Di dini hari kita menyerang mereka Yang mabuk tentu masih berada dalam pengaruh tuak. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang menjadi semakin mabuk. Mereka agaknya membawa tuak ke dalam bilik-bilik mereka.” “Jika demikian, hubungi orang-orang kita di semua penginapan, dan mereka yang berada di rumah Sura Kenthus. Semuanya, agar kita tidak menyesal nanti.” “Baik, Ki Panji,” sahut Sutasuni Sutasuni pun bergerak cepat. Beberapa orang telah membantunya menyampaikan perintah Ki Panji Kukuh. Ternyata alur kepemimpinan Ki Panji Kukuh berjalan dengan baik. Dalam waktu yang singkat, semua pengikutnya telah siap. “Kita akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang sendiri dengan beberapa orang petugas terlatih dari kademangan ini. Dalam waktu yang tidak terlalu lama. maka orang-orang yang menginap di penginapan itu pun akan berdatangan di banjar pula.” “Ya. Mereka yang sedang mabuk,” sahut Sutasuni. “Baiklah. Kita harus memilah orang-orang kita. Kita harus memilih, siapakah yang patas menghadapi Ki Saba Lintang dan para pengawal terpilihnya itu.” “Aku menawarkan diri,” berkata Glagah Putih, “aku akan mencoba apakah pemimpin tertinggi dari perguruan yang besar seperti Perguruan Kedung Jati itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi.” “Menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang sendiri bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi satu dua pengawalnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.” “Bukankah di antara kita ada Ki Panji Kukuh, ada Ki Sutasuni, dan beberapa orang yang lain?” “Baik. Kau akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang. Biarlah aku dan orang-orangku mengamankan pertarunganmu dengan Ki Saba Lintang agar tidak terganggu.” “Terima kasih,” jawab Glagah Putih “Lalu. bagaimana dengan istrimu?” “Bukankah kita tidak akan memasuki arena perang tanding? Jika perlu, biarlah istriku membantuku melawan Ki Saba Lintang. Tetapi jika hal itu tidak perlu, maka biarlah ia mencari lawannya sendiri.” Ki Panji Kukuh pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Nyi. Kau dengar kata-kata suamimu?” “Ya, Ki Panji,” jawab Rara Wulan, “aku akan mencari lawan sendiri di medan. Tetapi aku akan mempersiapkan diri membantu suamiku jika ia memerlukannya.” “Baiklah. Jumlah kita cukup banyak. Tugaskan sekelompok di antara kita untuk menghalau para petugas dari kademangan ini.” “Ya, Ki Panji,” jawab Sutasuni. Demikianlah, maka menjelang dini hari, pasukan Ki Panji Kukuh pun telah bergerak menuju ke banjar. Mereka menyusup dengan diam-diam di jalan-jalan yang sepi. Setiap kelompok telah memilih jalan mereka sendiri-sendiri. “Semuanya harus segera berada di sekitar banjar. Hindari bentrokan dengan para peronda, agar tujuan kita untuk mengepung banjar tidak ketahuan lebih dahulu, sehingga para peronda itu mengirimkan isyarat. Jika keadaan memaksa, maka kalian harus berusaha membungkam para peronda itu,” berkata Ki Panji Kukuh. “Jika aku memberi isyarat, semuanya akan bergerak menurut tugas mereka masing-masing. Yang harus menghalau para petugas Kademangan Seca berbeda orangnya dengan mereka yang akan menghadang orang-orang dari penginapan. Meskipun mereka sedang mabuk, namun pada dasarnya mereka adalah orang yang berilmu tinggi.” Semuanya menjadi jelas. Para pemimpin kelompok pun segera membawa kelompok mereka masing-masing menuruni jalan. Mereka memencar dan memilih jalan yang berbeda-beda. Ki Panji Kukuh sendiri telah menyusuri sebuah lorong kecil yang justru merupakan jalan pintas. Ki Panji Kukuh bersama Sutasuni, Glagah Putih, Rara Wulan dan beberapa orang terbaik itu akan berada di seberang jalan, di depan banjar. Mereka-lah yang akan memasuki halaman banjar mendahului para pengikut Ki Panji Kukuh yang lain, agar mereka dapat langsung berhadapan dengan Ki Saba Lintang dan para pengawalnya yang terbaik. Beberapa saat kemudian, dengan menghindari pertemuan dengan tiga orang peronda, maka Ki Panji Kukuh pun telah berada di mulut lorong, di depan regol halaman rumah di sebelah banjar itu, Dengan hati-hati Ki Panji Kukuh dan orang-orang yang bersamanya, justru memasuki halaman rumah di depan banjar itu dengan mengendap-endap. “Kita tunggu sebentar, Ki Panji,” desis Sutasuni, “mungkin kawan-kawan kita masih berada di perjalanan.” Ki Panji mengangguk. Perlahan-lahan Ki Panji itu pun berbisik, “Banjar itu kelihatannya sepi sekali. Hanya ada dua orang petugas kademangan ini yang berdiri di regol. Mungkin ada juga yang duduk-duduk di dalam. Tetapi penjagaan di banjar ini sama sekali kurang memadai.” “Satu kelengahan, Ki Panji. Mereka dan bahkan siapa saja tidak akan mengira, bahwa kita akan mendatangi banjar malam ini. Setiap orang telah terlena dalam satu anggapan, bahwa Kademangan Seca adalah kademangan yang aman dan tenang, tanpa ada gejolak sama sekali.” “Perkelahian di penginapanmu agaknya tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, meskipun kau dan kedua orang suami istri itu menunjukkan ilmu yang memadai.” “Mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka, sehingga mereka tentu meremehkan orang lain. Apalagi di Seca yang diam ini.” Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Apakah kira-kira semua orang kita sudah berada di tempatnya?” Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Agaknya sekarang semuanya sedang merangkak ke tempat sebagaimana sudah kita rencanakan.” “Kalau begitu, kita akan segera memberikan isyarat.” Sutasuni mengangguk sambil berdesis, “Biarlah anak panah sendaren itu dilontarkan.” “Kau yakin bahwa semua orang akan mendengarnya?” “Ya, Ki Panji. Suara panah sendaren itu akan terdengar dari sekeliling banjar ini. Bahkan kita tidak akan menerbangkan satu panah sendaren, tetapi tiga, yang akan dilontarkan ke tiga arah yang berbeda.” “Bagus.” “Namun sementara itu, kita harus sudah memasuki halaman banjar. Begitu mereka tergerak oleh anak panah sendaren yang tentu akan mereka dengar, kita sudah berada di hadapan hidung mereka, sehingga mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Sementara itu orang-orang kita pun sudah memasuki lingkungan banjar itu pula.” Sejenak kemudian, maka Ki Panji Kukuh serta para pengikutnya yang menyertainya telah bersiap. Demikian pula Glagah Putih, yang telah menawarkan diri untuk menghadapi Ki Saba Lintang, serta Rara Wulan yang akan memilih lawannya di medan pertempuran. Sejenak kemudian, maka tiga orang pemanah telah siap dengan anak panah sendaren. Mereka mengarahkan panah sendaren mereka ke tiga arah yang berbeda. Satu akan terbang di atas banjar, satu di sebelah kiri dan satu lagi di sebelah kanan. Sutasuni berdiri di belakang ketiga orang pemanah itu. Bagaimanapun juga nampak ketegangan di wajahnya. Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar, yang tidak ada bandingnya. Kini gerombolannya telah menyulut permusuhan dengan perguruan yang terbesar itu. Jika mereka gagal membunuh pemimpin Perguruan Kedung Jati, maka mereka harus menepi untuk beberapa lama. Tetapi segala sesuatunya sudah disiapkan. Karena itu, maka Sutasuni itu pun berkata kepada ketiga orang pemanah itu, “Jika kami mencapai pintu gerbang dan membunuh kedua orang petugas itu, maka kalian harus melontarkan panah sendaren itu ke arah yang telah ditentukan.” “Baik, Ki Sutasuni,” jawab ketiganya hampir bersamaan. Demikianlah, sejenak kemudian Ki Panji Kukuh serta orang-orang yang bersamanya, termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan, telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu gerbang banjar padukuhan. Kedua orang yang bertugas di pintu gerbang itu terkejut. Tetapi mereka tidak mempunyai waktu untuk merenungi kedatangan beberapa orang yang berloncatan dari balik dinding halaman di seberang jalan. Ketika orang-orang itu tiba-tiba saja menyerang, maka kedua orang itu pun mencoba untuk membela diri mereka. Sebagai seorang petugas yang telah terlatih, maka mereka tidak dengan mudah mengulurkan leher mereka untuk ditebas. Ketika kedua orang itu bertempur melawan dua orang pengikut Ki Panji Kukuh, maka Ki Panji Kukuh sendiri dengan beberapa orang pengikutnya serta Glagah Putih dan Rara Wulan telah memasuki regol halaman banjar. Pada saat yang bersamaan, maka tiga buah panah sendaren telah terlepas dari busurnya, meluncur naik ke angkasa yang gelap. Anak panah sendaren itu memang mengejutkan. Beberapa orang petugas Kademangan Seca yang berjaga-jaga di banjar itu terkejut. Serentak mereka bangkit dan mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak tahu siapa yang telah melepaskan panah sendaren, serta dengan maksud apa, namun naluri mereka sebagai petugas yang berpengalaman telah memberikan peringatan bahwa mereka sedang dalam bahaya. Sebenarnyalah sejenak kemudian beberapa orang telah menghambur ke halaman. Sebagian dari mereka telah berlarian menuju ke arah para petugas. Namun yang lain langsung berlari ke pendapa banjar. Pertempuran pun segera terjadi. Para petugas yang ada di banjar itu jumlahnya terlalu sedikit. Namun sebagai petugas yang sudah terlatih, mereka mencoba untuk mengatasi kesulitan yang terjadi. Sementara itu, seorang di antara mereka pun telah sempat berlari ke serambi serta meraih pemukul kentongan. Sesaat kemudian terdengar suara kentongan dalam irama titir telah mengumandang di seluruh kademangan. Peristiwa yang langka terjadi di Kademangan Seca itu telah membuat rakyat Seca menjadi ketakutan. Kentongan yang berbunyi dengan irama titir itu benar-benar telah mengguncang Kademangan Seca. Beberapa orang yang berada di banjar itu pun terkejut. Ki Saba Lintang yang memang berada di banjar itu pun terkejut pula. Dengan sigapnya Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengiringnya yang berada di banjar itu pun segera bangkit berdiri. Sebagai seorang yang berpengalaman sangat luas, maka Ki Saba Lintang dan para pengiringnya yang berada di banjar itu, tidak segera kehilangan akal. Dua orang pengawal Ki Saba Lintang segera memasuki biliknya sambil berkata, “Agaknya sesuatu yang tidak kita kehendaki telah terjadi, Ki Saba Lintang.” “Ya. Bersiaplah.” “Kami sudah siap, Ki Saba Lintang.” Ki Saba Lintang pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus. Kita harus keluar dari banjar ini. Jangan terjebak di ruangan yang sempit ini.” Para pengawalnya pun tidak menjawab. Mereka pun segera mengiringi Ki Saba Lintang yang keluar dari dalam biliknya. Ketika ia berada di ruang dalam, maka beberapa orang berilmu tinggi yang datang bersamanya, telah bersiap pula. Di antara mereka terdapat pula Ki Murdaka yang datang mendahului Ki Saba Lintang. “Lingkungan yang tidak pernah nampak bergejolak di permukaan ini, tiba-tiba saja telah terguncang,” desis seorang pembantu terdekat Ki Saba Lintang. “Aku mohon maaf, Ki Saba Lintang,” berkata Murdaka, “kami yang datang mendahului Ki Saba Lintang sama sekali tidak melihat kemungkinan buruk ini bakal terjadi,” “Aku tahu. Aku tidak menyalahkan kalian yang datang lebih dahulu. Agaknya ada orang yang mempunyai perhitungan yang tajam yang menyergap kita malam ini. Mereka yang menyadari bahwa kedatangan mereka tidak akan diperhitungkan lebih dahulu.” “Hal itu dapat terjadi karena kebodohan kami.” “Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Sekarang kita sudah terjebak ke dalam satu serangan yang tidak kita duga sebelumnya. Kita akan melawannya. Kita harus yakin, bahwa kekuatan kita cukup besar untuk menghadapi gerombolan yang manapun juga. Orang-orang yang berada di penginapan itu tentu akan segera berdatangan pula.” Dalam pada itu, pertempuran pun telah terjadi di halaman banjar. Para petugas kademangan yang jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Seorang di antara mereka pun berlari ke ruang dalam sambil berkata, “Ampun, Ki Saba Lintang. Kami tidak dapat menahan mereka yang datang menyerang banjar ini.” “Apakah mereka terlalu banyak jumlahnya?” “Dibandingkan dengan kami para petugas dari kademangan, jumlah mereka memang terlalu banyak.” Ki Saba Lintang pun kemudian telah berteriak memberikan aba-aba, “Jangan biarkan mereka memasuki ruangan ini! Kita-lah yang akan menyongsong mereka di luar.” Sejenak kemudian, dua orang pengawal telah mendahului keluar lewat pintu pringgitan. Mereka masih melihat orang-orang terakhir dari pasukan di kademangan itu bertempur melawan beberapa orang yang telah memasuki halaman banjar. Namun orang-orang terakhir itu pun sempat berpengharapan, ketika mereka melihat orang-orang yang berada di ruangan dalam itu berloncatan keluar. Mereka tahu bahwa orang-orang yang berada di ruang dalam itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Namun, demikian orang-orang yang berada di ruang dalam itu menghambur turun ke halaman, maka beberapa orang yang lain telah berlari-larian di halaman samping dan bahkan di halaman belakang. Mereka berloncatan dari luar dinding halaman banjar itu. Pertempuran yang keras pun tidak dapat dihindarkan. Ki Saba Lintang, para pengawalnya serta orang-orang berilmu tinggi yang menjadi pembantu kepemimpinan Ki Saba Lintang pun segera terlibat dalam pertempuran itu. Sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka mampu bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan Tenaga dalam mereka pun melampaui tataran tenaga dalam orang-orang yang terlatih sekalipun. Karena itulah, maka Ki Panji Kukuh, Sutasuni serta orang-orang terbaiknya segera memilih lawan-lawan mereka. Sedangkan mereka yang ilmunya tidak terlalu tinggi, telah bergabung dua atau tiga orang bersama-sama menghadapi seorang lawan. “Jika kita membunuh ular, maka kita harus meremukkan kepalanya,” pesan itu terngiang di setiap telinga para pengikut Ki Panji Kukuh. Dalam pada itu, seorang yang telah dikenal oleh Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai Ki Murdaka pada saat mereka merunduk untuk melihat orang-orang yang berada di banjar itu justru sebelum Ki Saba Lintang datang, bertempur dengan garangnya. Dengan garang pula orang itu pun berteriak nyaring, “Setan alas! Siapakah kalian yang telah dengan licik menyergap kami, he? Bukankah kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian? Seandainya ada persoalan di antara kita, bukankah kita dapat membicarakannya?” Tidak seorangpun yang menjawab. Namun pertempuran berlangsung terus. “Baik, baik. Jika kalian semuanya bisu atau barangkali tuli, ketahuilah, inilah pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati. Akulah yang bergelar Ki Saba Lintang. Siapa yang ingin aku penggal kepalanya, marilah. Mendekatlah.” Beberapa orang yang mendengar suara Ki Murdaka itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum melihat Glagah Putih langsung menghadapinya seperti yang dijanjikannya. Namun yang datang menghadapi orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu adalah justru Rara Wulan, sambil bertanya, “Kaukah yang bergelar Ki Saba Lintang?” “Ya,” sahut Ki Murdaka. “Kau begitu setia kepada pemimpinmu, sehingga kau telah menjadikan dirimu sasaran serangan ini, justru untuk melindungi Ki Saba Lintang yang sebenarnya.” “Persetan. Siapakah kau, he?” “Namaku Nyi Naga… Nagagemulung, eh, bukan. Naga……” Ki Murdaka pun membentak, “Cukup! Aku tidak perlu tahu namamu. Jika kau sebut sebuah nama yang kau sendiri tidak ingat, itu tentu bukan namamu. Nah, sekarang jika kau sengaja mati tanpa nama, majulah. Jarang sekali aku menemui perempuan binal seperti kau ini. ” “Memang jarang sekali. Tetapi apakah kau pernah mendengar nama Nyi Yatni atau Nyi Dwani, atau barangkali nama beberapa orang perempuan yang lain, yang tentu juga kau sebut binal?” “Darimana kau kenal nama-nama itu?” “Perempuan-perempuan binal biasanya saling mengenal, meskipun hanya namanya.” “Persetan. Bersiaplah. Kau akan segera mati.” “Mudah-mudahan tidak. Aku akan berusaha untuk melindungi nyawaku.” “Setan betina,” Ki Murdaka itupun menggeram. “Nah, Ki Murdaka, aku sudah siap. Kita dapat mulai sekarang. Lihat, Ki Saba Lintang pun telah berhadapan dengan lawannya pula. Bukankah orang yang berdiri di tangga terakhir pendapa banjar itulah yang bernama Ki Saba Lintang?” Ki Murdaka memang menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya perempuan itu pernah bertemu, setidak-tidaknya melihat orang yang bernama Ki Saba Lintang, sehingga ia tidak dapat berpura-pura lagi. Apalagi perempuan itu sudah tahu namanya pula. Karena itu maka Ki Murdaka pun tidak merasa perlu untuk mendapatkan penjelasan dari perempuan yang dinilainya sangat sombong itu. Sekejap kemudian, dengan serta-merta Ki Murdaka pun telah meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu maka Rara Wulan pun dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan Ki Murdaka. Bahkan Rara Wulan pun segera membalas menyerangnya pula. Di depan pendapa, Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah berhadapan dengan Glagah Putih. Dengan kerut di dahinya, Ki Saba Lintang memandangi Glagah Putih dengan seksama. “Mungkin kita pernah bertemu, Ki Saba Lintang. Setidak-tidaknya kita pernah saling melihat di Tanah Perdikan Menoreh. Kau sudah beberapa kali mengunjungi Tanah Perdikan itu.” “Ya. Agaknya kau sengaja datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui aku di sini.” “Aku memang sedang memburumu.” “Kau mendendam?” “Bukan karena dendam. Tetapi Nyi Agung Sedayu yang pernah kau palsukan itu, kini justru menginginkan tongkat baja putih yang kau bawa. Mbokayu Sekar Mirah-lah yang berniat memimpin Perguruan Kedung Jati, sehingga sepasang tongkat baja putih itu harus berada di tangannya.” “Persetan dengan perempuan yang tamak itu. Seharusnya ia dapat bekerja sama dengan aku. Kami berdua akan menjadi pemimpin perguruan ini. Pemimpin yang dihormati bahkan oleh Sultan di Mataram.” “Mbokayu Sekar Mirah ingin memimpin Perguruan Kedung Jati bersama-sama dengan suaminya, Kakang Agung Sedayu. Tidak dengan kau.” “Persetan. Itu pikiran yang bodoh. Agung Sedayu tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Baik dari Kanjeng Adipati Arya Penangsang maupun Ki Patih Mantahun.” “Itu tidak akan menjadi soal. Keturunan siapapun jika memiliki sepasang tongkat baja itu, maka ia akan menjadi pemimpin Perguruan Kedung Jati.” “Omong kosong.” “Mbokayu juga tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Kenapa kau berniat untuk bersama-sama Mbokayu Sekar Mirah memimpin Perguruan Kedung Jati?” “Persetan. Agaknya kau-lah yang telah menggerakkan segerombolan orang ini untuk menyergap kami.” “Ya. Mereka adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka datang memburumu. Memburu tongkat baja putih itu. Karena itu, jika kau serahkan saja tongkat baja putih itu, maka tidak akan ada persoalan lagi.” “Mulutmu lancang sekali. Aku tahu bahwa kau tentu mempunyai bekal ilmu yang cukup jika kau berani memburuku. Tetapi agaknya malam ini kau akan mati.” Glagah Putih sudah siap untuk menjawab. Tetapi ia mulai bergeser beberapa langkah. Beberapa saat kemudian, keduanya pun sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sebagai orang yang berilmu tinggi, maka keduanya pun segera telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi pula. Dalam pada itu, pertempuran di halaman banjar itu pun menjadi semakin seru. Apalagi ketika orang-orang yang berada di penginapan sudah berdatangan. Mereka pun segera melibatkan diri dalam pertempuran pula. Jumlah para pengikut Ki Panji Kukuh memang lebih banyak. Tetapi para pengikut Ki Saba Lintang mempunyai ilmu yang rata-rata lebih tinggi. Meskipun demikian, para pengikut Ki Panji Kukuh yang memiliki pengalaman pada jalur perdagangan gelap itu pun menggenangi halaman banjar itu dan memaksa para pengikut Ki Saba Lintang untuk memeras kemampuan mereka. Namun sebagian besar dari pada pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sedang mabuk. Bahkan ada yang menjadi mabuk berat, sehingga dengan demikian mereka tidak dapat meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak. Ki Sela Aji dan Ki Demung Pugut telah berada di arena pertempuran itu pula. Ketika seorang yang mabuk berdiri terhuyung-huyung di sebelahnya, Ki Sela Aji itu pun telah menampar wajahnya sambil berteriak, “Nah, inilah hasilnya jika kau tidak mau mendengarkan perintah Ki Murdaka! Kau yang mabuk itu kini berada di medan pertempuran. Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap mabuk sehingga ujung pedang lawan akan mengoyak jantungmu, atau kau berusaha untuk bangkit dan melindungi dirimu sendiri.” Orang itu memang terkejut sejenak. Tetapi kemudian matanya menjadi redup lagi. Meskipun demikian, karena ia memang berilmu tinggi, maka ia pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang semakin seru. Tetapi orang-orang yang mabuk itu tidak dapat mengerahkan ilmunya sampai ke puncak. Kepalanya yang pening, tulang-tulangnya yang terasa menjadi lemah, merupakan hambatan yang mengekang mereka. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi selain jumlah mereka lebih sedikit, sebagian dari mereka pun sedang dalam keadaan mabuk. Sementara itu, Rara Wulan pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Ki Murdaka. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sekali-sekali Ki Murdaka harus berloncatan beberapa langkah surut. Namun sekejap kemudian, keduanya telah terlibat kembali dalam pertempuran yang keras. Ki Panji Kukuh sempat melihat pertempuran itu sekilas. Bagaimanapun juga Ki Panji Kukuh harus mengagumi kemampuan Rara Wulan yang berloncatan seperti anak kijang di rerumputan. Namun Ki Murdaka pun bertempur dengan garangnya. Sekali-sekali terdengar orang itu menggeram seperti seekor harimau yang marah. “Kenapa justru perempuan itu yang harus bertempur melawan Ki Saba Lintang?” bertanya Ki Panji Kukuh di dalam hatinya. Sambil bertempur di antara beberapa orang lawannya, Ki Panji Kukuh pun telah melihat pula Glagah Putih yang sedang bertempur melawan seorang yang berilmu sangat tinggi pula. “Agaknya lawan Ki Nagagundala itu juga seorang yang akan menentukan perjalanan Perguruan Kedung Jati pula.” Tetapi Ki Panji Kukuh tiba-tiba saja telah menghadapi seorang yang janggutnya jarang dan tidak begitu panjang, yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. Orang tua itu bertubuh kecil. Tingginya sedang-sedang saja. Namun geraknya nampak sangat ringan. Tubuhnya bagaikan kapuk randu yang diterbangkan angin pusaran, berputaran di arena pertempuran itu, sehingga akhirnya tiba di hadapan Ki Panji Kukuh. Namun sebelum Ki Panji Kukuh menyapanya, orang itu sudah bertanya lebih dahulu, “Kau siapa, Ki Sanak? Kau mengamuk seperti harimau lapar.” Ki Panji Kukuh memang tidak berniat menunjukkan jati dirinya serta gerombolannya. Karena itu, maka ia pun menjawab sekenanya, “Namaku Singa Wereng. Kau siapa?” “Apakah kau pernah mendengar nama Watu Kenari?” “Watu Kenari?” “Ya.” Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Ia belum pernah mendengar nama itu. Meskipun demikian, ia harus berhati-hati. Menilik sikapnya, maka orang itu agaknya berilmu sangat tinggi. “Nah, sebaiknya kau bujuk Ki Saba Lintang untuk menyerah.” Tetapi orang yang menyebut dirinya Watu Kenari itu tertawa pendek. Katanya, “Agaknya kau belum berkenalan dengan Perguruan Kedung Jati, sehingga kau dan kawan-kawanmu berani membuat persoalan dengan kami.” “Persetan dengan Perguruan Kedung Jati. Kami tidak akan melepaskan Seca ini ke dalam pengaruhnya. Selama ini kami-lah yang berpengaruh di sini.” “Kau harus mempelajari keseimbangan kekuatan lebih banyak lagi. Suatu gerombolan yang betapapun besarnya yang berani melawan Perguruan Kedung Jati, itu berarti telah membunuh dirinya.” “Tetapi ternyata kalian, termasuk Ki Saba Lintang-lah, yang akan mati malam ini.” Watu Kenari itu tertawa. Katanya, “Kau agaknya telah bermimpi. Bangunlah dan lihatlah kenyataan di halaman banjar ini.” “Kau lihat bahwa Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak berdaya,” desis Ki Panji Kukuh. Watu Kenari meloncat surut. Hampir di luar sadarnya, ia pun segera berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ki Panji Kukuh mengikuti pandangan matanya. Ternyata orang itu memperhatikan lawan laki-laki yang dengan bangga mengganti namanya menjadi Nagagundala itu. Namun tiba-tiba orang itu berpaling kepada Ki Murdaka yang bertempur dengan istri Nagagundala, sambil berkata hampir berteriak, “Ternyata Ki Saba Lintang ada di sana. Perempuan yang sangat sombong dan mencoba menghadapinya itu akan segera dihancurkan.” Ki Panji Kukuh memang menjadi agak bingung. Yang manakah sebenarnya yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi ia tidak sempat merenungi mereka terlalu lama. Sejenak kemudian, maka Watu Kenari itu pun telah meloncat menyerangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tetapi Ki Panji Kukuh pun telah bersiap sepenuhnya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan Ki Panji Kukuh yang garang itu pun dengan cepat pula membalasnya menyerang. Demikianlah, maka pertempuran pun segera menjadi semakin seru. Keduanya pun berloncatan dengan cepat, sehingga kaki mereka seakan-akan tidak berjejak lagi di atas tanah. Beberapa saat kemudian, maka pertempuran pun telah terjadi di mana-mana. Sutasuni telah terlibat pula melawan seorang yang berilmu tinggi. Sedangkan orang-orangnya pun bertempur dengan garangnya pula. Para pengikut Ki Panji Kukuh itu tetap saja berpegang pada pesan, bahwa jika mereka membunuh ular, maka mereka harus meremukkan kepalanya. Karena itu, maka setiap orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu berniat untuk membunuh lawan-lawan mereka. Sebenarnyalah bahwa orang-orang berilmu tinggi yang sedang mabuk itu pun segera mengalami kesulitan. Kepala mereka masih terasa pening, sementara kesadaran mereka belum pulih sepenuhnya. Dalam keremangan cahaya lampu minyak di kejauhan, maka mata mereka yang redup itu pun menjadi semakin kabur. Agaknya Sutasuni telah memilih waktu yang tepat, justru pada saat orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu banyak yang mabuk. Ki Murdaka menjadi sangat marah kepada mereka. Ia sangat benci kepada orang-orang yang tidak menuruti perintahnya. “Mampuslah kau, pemabuk,” geramnya sambil berloncatan. “Ya. Mereka akan segera mampus. Kau-kah yang mengajari mereka mabuk?” bertanya Rara Wulan. “Persetan kau, perempuan binal,” geram Ki Murdaka. Rara Wulan justru tertawa sambil menjawab, “Kau memang akan banyak kehilangan pengikut-pengikutmu. Jika mereka tidak menyerah, mereka akan mati.” “Jangan membual. Sebentar lagi kau akan terbaring diam di halaman banjar ini. Kau tidak akan sempat lagi menyesali kesombonganmu. Orang-orangmu pun akan hancur menjadi debu.” Rara Wulan tertawa pula. Katanya, “Ki Murdaka. Begitu pastikah bahwa kau akan mengalahkan aku?” “Aku adalah Murdaka, yang digelari Alap-Alap Alas Roban.” “Alap-Alap Alas Roban,” Rara Wulan mengulang. “Nah, jika kau merasa sebagai seekor burung merpati, maka kau akan segera tercengkam oleh kuku-kukuku.” “Tidak. Aku tidak pernah merasa diriku seperti burung merpati. Tetapi aku-lah kakek penyumpit, yang setiap hari berburu burung di hutan. Burung alap-alap adalah burung yang paling menyenangkan untuk diburu, justru karena kelincahannya.” “Persetan dengan bualanmu, perempuan binal.” “Tetapi sumpitku tidak pernah gagal. Aku adalah pembidik terbaik di tlatah Mataram ini.” Ki Murdaka tidak memberi kesempatan Rara Wulan lebih banyak berbicara. Karena itu, maka ia pun segera menyerangnya pula dengan garangnya. Tetapi Rara Wulan benar-benar seorang perempuan yang tangkas. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi ia memiliki banyak kelebihan. Tenaga dalamnya yang sangat besar, membuat perempuan itu tidak tergetar sama sekali jika terjadi benturan-benturan. Bahkan serangan-serangan Ki Murdaka pun jarang sekali dihindari oleh Rara Wulan. Tetapi dengan lambaian tenaga dalamnya, Rara Wulan telah membentur serangan-serangan Ki Murdaka yang sangat berbahaya itu. Dengan demikian, maka Ki Murdaka pun harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi lawannya. Ditingkatkannya ilmunya menjadi semakin tinggi. Namun tataran ilmu Ki Murdaka yang ditingkatkan itu tidak pernah dapat menjadi lebih tinggi dari tataran ilmu Rara Wulan. Karena itulah, maka serangan-serangan Ki Murdaka tidak terlalu menyulitkan bagi Rara Wulan, meskipun Rara Wulan harus selalu berhati-hati. Namun Ki Murdaka yang merasa bahwa serangan-serangannya sulit menguak pertahanan Rara Wulan yang rapat dan kokoh itu pun tiba-tiba telah menarik pedangnya. Sebilah pedang yang berkilat-kilat agak kemerah-merahan. Rara Wulan melenting surut selangkah. Diamatinya pedang Ki Murdaka yang seakan-akan bercahaya di keremangan malam. “Kau akan menjadi santapan yang agak berbeda dari pedangku ini. Seingatku, aku belum pernah membunuh perempuan dengan pedangku. Bukan berarti bahwa aku tidak pernah membunuh perempuan. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi jika berani menghalangi aku, sebagaimana kau lakukan sekarang ini, maka ia akan mati. Tetapi yang pernah terjadi, aku membunuh perempuan dengan tanganku. Tetapi kau lain, perempuan binal. Kau mempunyai kelebihan dari kebanyakan perempuan yang pernah aku kenal.” “Pedangmu pedang yang luar biasa,” desis Rara Wulan. “Kau menjadi ketakutan karenanya?” “Tidak. Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku justru mengaguminya. Tetapi aku tidak ingin memilikinya. Jika kau mati, biarlah pedangmu diketemukan oleh orang-orang Seca yang esok akan membersihkan halaman banjar ini.” Telinga Ki Murdaka menjadi bagaikan disentuh api. Dengan geram ia membentak, “Tutup mulutmu! Atau aku yang akan mengoyaknya.” “Jangan marah, Ki Murdaka. Menurut guruku, jika seseorang bertempur tanpa dapat mengendalikan kemarahannya, maka ia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan baik.” Ki Murdaka meloncat mundur selangkah. Dipandanginya Rara Wulan sambil berdesis, “Kau benar, perempuan binal. Aku harus mengendalikan kemarahanku.” Namun Rara Wulan tidak sempat menjawab. Ki Murdaka pun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar, menebas ke arah lambung. Rara Wulan meloncat surut, sehingga pedang lawannya itu terayun setebal jari di depannya tanpa menyentuh pakaiannya. Rara Wulan tidak meremehkan senjata lawannya. Pedang itu adalah pedang yang sangat baik. Tentu pedang yang sudah sangat akrab dengan pemiliknya. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya pula. Selendang yang menjadi andalannya menghadapi segala jenis senjata. “Anak setan kau, perempuan sombong. Kau kira pedangku tidak dapat menebas putus selendangmu itu? Kapuk yang ditiupkan ke mata pedangku pun akan terbelah. Apalagi selendangmu itu. ” “Kita lihat saja nanti, Ki Murdaka.” Ki Murdaka tidak menjawab lagi. Kemarahannya bagaikan membakar ubun-ubunnya. Namun justru ia mencoba melakukan sebagaimana dipesankan oleh lawannya. Jika ia kehilangan akal, maka ia tidak akan dapat menghadapi lawannya dengan penalaran yang jernih, sehingga segala sesuatunya akan menjadi kabur. Karena itu, bagaimanapun juga jantungnya bergejolak, Ki Murdaka berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya serta mempergunakan penalarannya yang jernih. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Ketika Rara Wulan mulai memutar selendangnya, maka lawannya pun mulai menyadari bahwa selendang di tangan perempuan itu bukan selendang kebanyakan. Apalagi Ki Murdaka pun mengerti bahwa perempuan itu memiliki tenaga dalam yang sangat besar. Sehingga selendangnya itu dapat terjulur mematuknya seperti sebatang tombak. Menebas seperti pedang, namun selendang itu dapat pula menjerat seperti seutas tali. “Gila. Dari mana ia mendapatkan ilmu serta tenaga dalam sebesar itu?” bertanya Ki Murdaka di dalam hatinya. Namun Ki Murdaka tidak sempat mencari jawabannya. Selendang itu berputaran semakin cepat. Menebas, mematuk, dan sekali-sekali menjerat pedangnya seperti tangan-tangan gurita raksasa yang mengerikan. Sementara itu, Glagah Putih pun bertempur melawan Ki Saba Lintang yang meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Sambil tertawa pendek Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Apakah kau menjadi heran? Ilmuku memang sudah menjadi berlipat dua kali. Jika sebelumnya kau sudah mengagumi aku, maka sekarang kau akan merasa dirimu tidak berharga sama sekali.” “Ya,” sahut Glagah Putih, “ilmumu memang sudah meningkat semakin tinggi. Aku memang menjadi semakin kagum kepadamu. Tetapi belum sampai pada batas kecemasan. Karena setinggi-tinggi ilmumu, aku masih akan dapat menjangkaunya.” Ki Saba Lintang tertawa pula. Katanya, “Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi. Bahkan seandainya kau panggil Agung Sedayu sekalipun, ia tentu akan terheran-heran sampai saat jantungnya tertembus tongkat baja putihku.” “Tetapi kenapa kau mempergunakan orang lain sebagai kedok keberadaanmu di sini? Kenapa Murdaka itu harus mengaku bahwa ia adalah Ki Saba Lintang?” “Kau memang terlalu dungu untuk dapat mengerti?” “Bukankah itu mencerminkan betapa ketakutannya kau menghadapi seranganku malam ini?” “Kenapa aku menjadi ketakutan? Aku justru merasa senang dapat bertemu kau dan orang-orangmu di sini, sehingga aku tidak perlu memburumu sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Tetapi bukankah kau tentu merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?” “Buat apa aku pergi ke Tanah Perdikan itu, jika aku dapat membunuhmu di sini?” “Tetapi tongkat baja putih yang berada di tangan Mbokayu Sekar Mirah itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Wajah Ki Saba Lintang menegang. Kemudian ia pun berkata dengan nada berat, “Ya. Aku akan mengambilnya. Jika terpaksa, aku akan membunuh Sekar Mirah dan Agung Sedayu.” “Kau tidak akan dapat melakukannya.” “Kenapa? Kau ragukan kemampuanku serta kekuatan Perguruan Kedung Jati, setelah aku bekerja keras akhir-akhir ini?” “Ya. Justru kau akan mati di sini. Pengikutmu yang hanya dapat mabuk-mabukan itu pun akan dilindas oleh kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.” Tetapi Ki Saba Lintang masih juga tersenyum. Sambil berloncatan menghindari serangan-serangan Glagah Putih, Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Baiklah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang lebih baik setelah kemampuanmu menjadi berlipat.” Keduanya pun bergerak semakin cepat. Serangan-serangan Ki Saba Lintang datang seperti angin prahara. Namun Glagah Putih tidak terguncang karenanya. Pertempuran di halaman banjar itu pun berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menguasai medan. Beberapa orang petugas dari Kademangan Seca masih sempat menyaksikan pertempuran itu. Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah berada di halaman banjar itu pula. Namun mereka justru mencegah para petugas yang tersisa, serta kawan-kawan mereka yang baru berdatangan, untuk tidak tergesa-gesa melibatkan diri. “Keduanya mempunyai kekuatan yang sangat besar,” berkata Ki Demang, “keduanya mempunyai orang-orang yang berilmu tinggi. Ki Saba Lintang dan Ki Murdaka pun telah terlibat pula dalam pertempuran. Bahkan Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut dan yang lain-lain juga telah menghadapi lawan-lawan yang seimbang. Sementara itu mereka yang datang menyerang banjar itu jumlahnya lebih banyak. Bahkan hampir berlipat.” Ki Jagabaya dan para bebahu itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dengan nada berat Ki Jagabaya berkata, “Ternyata kita telah lengah. Selama ini kita tidak melihat kekuatan yang ada di Seca, yang ternyata mampu mengimbangi kekuatan Perguruan Kedung Jati.” “Tidak. Yang ada di sini hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kekuatan Perguruan Kedung Jati. Mereka tidak mengira bahwa di sini mereka akan mendapat gangguan dari satu kekuatan yang cukup besar, yang sebelumnya tidak pernah nampak di Seca,” sahut Ki Demang. “Perguruan Kedung Jati tentu akan menyalahkan kita,” desis Ki Kebayan. “Mungkin mereka akan menyalahkan kita, bahwa kita memberikan keterangan bahwa Seca adalah satu kademangan yang aman.” “Karena itu, agaknya lebih baik melibatkan diri. Kita mempunyai beberapa orang petugas yang akan dapat membantu Ki Saba Lintang.” “Tetapi itu akan menimbulkan dendam dari kekuatan yang sebelah. Jika Ki Saba Lintang tidak mampu bertahan, maka pihak yang lain itu akan menghancurkan kita pula, karena kita berpihak kepada Ki Saba Lintang.” Para bebahu itu mengangguk-angguk. Sementara itu pertempuran di halaman banjar itu pun menjadi semakin garang. Kedua belah telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan Ki Saba Lintang pun telah memutar tongkat baja putihnya untuk melawan Glagah Putih. “Kau-lah yang menjadi heran melihat kemampuanku sekarang,” berkata Glagah Putih sambil mengurai ikat pinggangnya. Ki Saba Lintang tidak lagi tersenyum-senyum. Tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Sambil memutar tongkat baja putihnya, maka Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Kemampuanmu memang mengejutkan. Tetapi tongkat baja putihku akan mengakhiri kesombonganmu itu.” Glagah Putih melangkah surut beberapa langkah. Diurainya ikat pinggangnya sambil berdesis, “Marilah, Ki Saba Lintang. Kita akan menuntaskan pertempuran ini.” Ki Saba Lintang menggeram. Ia pun segera meloncat menyerang sambil mengayunkan tongkat baja putihnya ke arah ubun-ubun Glagah Putih. Namun Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat menghindar, sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang itu tidak mengenainya. Namun Ki Saba Lintang tidak memberi kesempatan. Ki Saba Lintang itu pun dengan cepat pula memburunya sambil menjulurkan tongkat baja putihnya mematuk ke arah dada. Glagah Putih tidak sempat menghindar. Karena itu. maka Glagah Putih telah menangkis serangan itu dengan ikat pinggangnya. Satu benturan yang keras sekali telah terjadi. Tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang adalah tongkat baja putih yang jarang ada duanya. Sementara itu, ikat pinggang Glagah Putih adalah bukan ikat pinggang kulit kebanyakan. Keduanya pun berloncatan surut. Tangan Ki Saba Lintang terasa menjadi panas. Demikian pula telapak tangan Glagah Putih. Benturan yang keras sekali itu telah membuat senjata keduanya tergetar. Ki Saba Lintang mengumpat di dalam hatinya. Ia tidak mengira bahwa anak Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mampu meningkatkan ilmunya sampai ke tataran yang sangat tinggi. Bahkan dalam pertempuran bersenjata pun Ki Saba Lintang telah diimbangi oleh kemampuan Glagah Putih, yang hanya bersenjata ikat pinggangnya. Di sisi-sisi lain dari pertempuran itu, orang-orang Ki Panji Kukuh lebih banyak menguasai arena. Selain jumlah orang-orangnya lebih banyak dari orang-orang Perguruan Kedung Jati, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati yang tidak terlalu banyak itu diracuni oleh tuak di kepalanya, sehingga mereka tidak dapat berpikir jernih. Karena itu, maka keadaan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati semakin menjadi sulit. Mereka mulai terdesak. Dan bahkan korban pun telah berjatuhan. Dengan demikian, maka para pengikut Ki Panji Kukuh menjadi semakin percaya diri. Orang-orang yang mulutnya berbau tuak itu, seorang demi seorang menjadi semakin menyusut. Namun orang-orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati itu-lah yang kemudian mengejutkan. Mereka telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Tidak ada orang yang dapat menghentikan Ki Sela Aji yang mengamuk seperti seekor harimau yang lapar di tengah-tengah kawanan serigala liar. Sementara itu Ki Demung Pugut telah menghadang Sutasuni yang bertempur dengan garangnya. Ketika Ki Sela Aji itu berhasil melumpuhkan lawannya, maka ia pun kemudian bergerak seperti kuda liar. Tidak ada yang dapat mengendalikannya. Ia berloncatan dari satu tempat ke tempat yang lain, melonjak, menerjang dan menyepak, dan bahkan menginjak-injak siapapun yang mencoba menghalanginya. Kawan-kawannya yang sudah menjadi cemas, tiba-tiba saja telah bangkit pula. Mereka menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawan mereka. Mereka telah menunjukkan tataran mereka yang sebenarnya sebagai pengikut dari Perguruan Kedung Jati. Para pengikut Ki Panji Kukuh pun terhentak. Tetapi korban telah berjatuhan silang melintang di halaman banjar itu. Sementara Ki Panji Kukuh sendiri masih terikat dalam pertempuran melawan Watu Kenari. Seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi, yang dapat membuat tubuhnya seringan kapas. Korban di kedua belah pihak bertebaran di mana-mana. Sementara itu Ki Demang dan Ki Jagabaya tetap menahan para petugasnya untuk tidak berpihak lagi. “Tetapi beberapa orang kawan kita sudah terbunuh, Ki Demang,” berkata seorang petugas yang hampir tidak mampu lagi mengekang diri. “Ya. Mereka telah menjadi korban, karena mereka bertugas di banjar pada saat serangan itu datang. Tetapi dalam kekalutan yang tidak kita mengerti itu, sebaiknya kita tidak turut campur. Jika kita terlibat dalam permusuhan yang tidak kita mengerti, maka kita akan terseret ke dalam permusuhan yang berkepanjangan. Seca tidak lagi akan dapat menjadi sebuah kademangan yang tenang yang akan dapat berpengaruh pada arus perdagangan. Jika arus perdagangan datang dan pergi ke Seca ini terhalang, maka Seca akan menjadi satu lingkungan yang tidak ada bedanya dengan kademangan-kademangan lain, yang berada di bawah bayangan para perampok. Apalagi jika Seca berada di bawah bayangan pertentangan antara dua kekuatan yang besar. ” Petugas yang merasa kehilangan beberapa orang kawannya itu tidak dapat memaksakan kehendaknya. la memang melihat pertempuran yang sengit. Korban berjatuhan di mana-mana dari kedua belah pihak. Di sengitnya pertempuran itu, ternyata Sutasuni yang telah dihadang oleh Ki Demung Pugut itu mengalami kesulitan yang semakin mendesaknya. Ki Demung Pugut ternyata seorang yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Pedangnya yang berputar itu seakan-akan merupakan gumpalan asap kelabu yang mengelilinginya. Namun senjata Sutasuni mengalami kesulitan untuk menembus gumpalan asap kelabu itu. Ujung pedang Ki Demung Pugut-lah yang mulai tergores di tubuh Sutasuni. Semakin lama semakin banyak. Meskipun dengan kekuatannya yang sangat besar, sekali-sekali Sutasuni berhasil menguak pertahanan Ki Demung Pugut dan menggoreskan senjata di tubuhnya, namun ujung pedang Ki Demung Pugut-lah yang lebih sering menyentuh tubuh Sutasuni. Darah pun mengalir semakin lama semakin banyak. Sutasuni mulai meragukan keyakinannya sendiri, bahwa para pengikut Ki Panji Kukuh itu akan dapat menghancurkan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati. Keseimbangan pertempuran di halaman banjar itu masih belum menentu. Jika semula para pengikut Ki Panji Kukuh yang jumlahnya lebih banyak itu telah mendesak lawannya, namun Ki Sela Aji dan beberapa orang berilmu tinggi mulai mengubah keseimbangan itu. Mereka mengamuk tanpa dapat dihambat lagi, sehingga beberapa orang berilmu tinggi yang lain yang mulai menjadi cemas, telah menemukan kepercayaan diri mereka kembali. Tetapi mereka menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak yang telah bertempur dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga satu dua orang dari Perguruan Kedung Jati itu tidak mampu mengatasinya. Sementara itu Ki Murdaka masih terikat dalam pertempuran melawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan berputar melingkar. Namun kadang-kadang nampak menggeliat dan menggapai-gapai. Pada kesempatan yang lain, selendang itu terjulur mematuk seperti sebatang tombak berlandean panjang. Ki Murdaka yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi itu harus mengerahkan kemampuannya. Ternyata ketajaman pedangnya tidak mampu memotong selendang Rara Wulan yang aneh itu. Bahkan sentuhan-sentuhan ujung selendang itu telah mulai mengoyak pakaiannya dan bahkan melukai kulitnya. Namun pedang Ki Murdaka yang bagaikan membara itu pun sangat mengerikan. Di kegelapan, pedang itu bagaikan lidah api yang panjang yang terjulur dari tangan Ki Murdaka. Tetapi Ki Murdaka tidak segera berhasil menguasai perempuan yang bersenjata selendang itu. Bahkan Ki Murdaka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Ki Murdaka mulai mengalami kesulitan. Agaknya memang tidak ada pilihan lain bagi Ki Murdaka. Meskipun yang dihadapi adalah seorang perempuan, tetapi ia adalah seorang perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan. Apalagi ketika Ki Murdaka sempat memperhatikan arena pertempuran yang tidak menentu. Korban yang bergelimpangan di halaman banjar, sehingga kemungkinan buruk akan dapat terjadi pada Ki Saba Lintang yang sebenarnya. Ki Murdaka itu menyempatkan diri meloncat surut. Sekilas ia melihat bahwa Ki Saba Lintang sendiri masih terikat dalam pertempuran yang sengit. Bahkan Ki Saba Lintang telah mempergunakan tongkat baja putihnya. Namun lawannya pun agaknya memiliki senjata yang mampu mengimbangi tongkat baja putihnya itu. “Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Ki Murdaka di dalam hatinya, “aku tidak akan mampu menghentikan perlawanan perempuan ini dengan pedangku.” Karena itu, maka Ki Murdaka pun telah sampai pada keputusan untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya. Karena itu, maka Ki Murdaka itu pun telah mencoba menghentakkan ilmu pedangnya yang sangat tinggi. Namun ia tidak berhasil menyelesaikan pertempuran. Ia hanya sempat mendesak Rara Wulan beberapa langkah surut. Namun Rara Wulan pun segera menemukan kembali keyakinannya, dan bahkan mulai menekan Ki Murdaka kembali. bersambung Nontondulu baru komeng, Gan! Lihat video lainnya di Api di Bukit Menoreh 1-4 Mengusir Sedayu
♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab, Ki Umbul Telu itu pun berkata pula, “Kami masih ingin juga mendapat petunjuk Angger berdua.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimana mungkin kami memberikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti.” “Gagasan-gagasan itulah yang sebenarnya ingin kami dengar. Kami akan mempertimbangkan pelaksanaannya.” “Ki Umbul Telu. Bukan maksud kami menolak keinginan Ki Umbul Telu agar kami untuk beberapa lama tinggal di padepokan ini. Tetapi kami masih harus melanjutkan perjalanan kami. Meskipun demikian, kami akan mengusahakan waktu barang dua tiga hari untuk tetap tinggal di sini.” “Tidak hanya dua tiga hari,” sahut Ki Kumuda, “tetapi dua tiga bulan.” Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih menyahut, “Terima kasih, Ki Kumuda. Tetapi kami tidak dapat tinggal di satu tempat untuk waktu yang terlalu lama. Tetapi kami akan berusaha untuk tidak mengecewakan Ki Kumuda.” Ki Kumuda pun tertawa pula. Dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat segera meninggalkan padepokan di gumuk kecil itu. Mereka tidak sampai hati untuk menolak permintaan para pemimpin di padepokan itu. Ki Umbul Telu memang sedang merencanakan untuk membuka kembali jalur perdagangan dengan para pedagang yang lewat di jalan-jalan yang dianggapnya berbahaya, sehingga mereka memerlukan membentuk kelompok-kelompok agar mereka dapat mengatasi para penyamun di perjalanan. Jika mereka dapat membantu menjamin keamanan di sepanjang jalan itu, maka perdagangan pun akan terbuka kembali. Yang akan lewat tidak hanya orang-orang berkuda yang melarikan kuda mereka seperti dikejar hantu. Tetapi juga para pedagang yang membawa pedati yang dapat memuat berbagai macam barang dagangan yang terhitung agak besar dan berat. Namun dalam dua tiga hari, para penghuni padepokan itu masih disibukkan selain mengubur mereka yang terbunuh, juga merawat mereka yang terluka. Bagaimanapun juga padepokan itu pun masih juga dibayangi oleh wajah-wajah duka, karena ada di antara mereka yang telah gugur di perjuangan mereka mempertahankan perguruan mereka. Karena itu, maka dalam tiga hari pertama setelah pertempuran di bukit kecil itu, Ki Umbul Telu masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk mulai dengan rencananya. Baru kemudian, setelah tiga hari berlalu, Ki Umbul Telu mulai berbicara dengan para pengikut Ki Dandang Ireng yang menyerah dan ditahan di Perguruan Awang-Awang. “Kami tidak dapat menahan kalian untuk seterusnya di sini. Kami pun tidak berhak untuk membuat penyelesaian yang termudah dengan membunuh kalian semuanya,“ berkata Ki Umbul Telu. Para tawanan itu menundukkan kepala mereka. Mereka menjadi berdebar-debar, keputusan apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu. Orang yang dituakan di padepokan itu. Seandainya para penghuni padepokan itu mengambil keputusan untuk membunuh mereka semuanya, maka mereka dapat saja melakukannya tanpa diketahui oleh siapapun juga. Apalagi oleh tangan-tangan kekuasaan Mataram. Tetapi ternyata Ki Umbul Telu tidak akan melakukannya. “Kami, para penghuni padepokan ini,” berkata Ki Umbul Telu selanjutnya, “telah sepakat untuk membuat perjanjian dengan kalian. Kami tahu bahwa perjanjian ini tidak mempunyai ikatan apa-apa. Maksudku, masing-masing akan dapat melanggarnya. Tetapi kita pun harus menyadari, bahwa pelanggaran atas perjanjian itu akan dapat berakibat buruk bagi hari-hari kita di masa mendatang. Kita akan dapat mengambil langkah-langkah yang jauh berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Khususnya kami, penghuni padepokan ini.” Para tawanan itu masih tetap menundukkan kepala. “Dengarlah keputusan yang telah kami ambil. Para penghuni padepokan ini bukan pembunuh yang dapat membunuh kalian dengan hati yang beku. Tetapi kami menghormati hidup sesama kami, termasuk kalian, meskipun kalian adalah perampok dan penyamun. Bahkan kami telah memutuskan untuk melepaskan kalian dari tangan kami. Pergilah. Tetapi seperti yang aku katakan, kita akan membuat perjanjian. Kami akan melepaskan kalian. Selanjutnya kalian tidak akan melakukan lagi perampokan di sepanjang bulak-bulak panjang atau di tebing-tebing sungai, atau dimanapun. Kami akan bekerja sama dengan para pedagang dan para Demang untuk mengamankan lingkungan ini, karena kami sangat berkepentingan. Jika pada suatu ketika kami menjumpai kalian di antara para perampok dan penyamun, maka kami akan terpaksa menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Karena itu, maka sebelum kalian pergi, kami akan memberikan pertanda pada tubuh kalian. Di pergelangan tangan kalian akan kami buat lukisan kecil. Dengan duri dan kemudian diusap dengan reramuan, maka lukisan kecil itu tidak akan pernah hilang. Karena itu, dimanapun kita bertemu, kami akan segera dapat mengenali kalian. Bahkan kami akan memberitahukan kepada para para pedagang, para Demang dan bahkan para petugas dari Mataram yang sempat datang ke lingkungan ini. Mereka yang menjumpai kalian dengan pertanda di tangan kalian, maka mereka akan menghukum kalian dengan hukuman yang paling berat. Bahkan kalian akan dapat dihukum mati, karena kalian sudah melanggar janji kalian sendiri.” Tidak seorangpun di antara para tawanan itu yang menyahut. Mereka masih saja menundukkan kepala mereka dengan jantung yang berdebaran. Pertanda di pergelangan mereka itu tentu akan mereka bawa sampai akhir hidup mereka. Tetapi mereka tidak akan dapat menolak kemauan Ki Umbul Telu itu. Jika ada di antara mereka yang menolak, Ki Umbul Telu akan dapat mengambil tindakan yang lebih keras terhadap mereka. Sebenarnyalah mulai hari itu, setiap orang yang tertawan itu telah ditandai di pergelangan tangan mereka. Seorang demi seorang bergantian. Ada tiga orang penghuni padepokan itu yang mampu membuat lukisan di tubuh seseorang dengan duri, yang kemudian diolesi reramuan yang tidak akan dapat dihapus lagi. Para tawanan itu baru akan dilepaskan jika luka-luka di pergelangan tangan mereka itu sudah mengering. Sementara itu, Ki Umbul Telu akan segera mulai menghubungi beberapa orang Demang yang daerahnya dilalui oleh para pedagang dalam perjalanan mereka. Dalam pada itu, pada hari-hari yang luang itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menjelajahi bukit kecil itu. Di dalam dan di luar dinding padepokan. Mereka melihat-lihat air yang mengalir dari celah-celah batu-batu padas ke lekuk-lekuk yang lebih rendah. Kemudian terjadilah parit-parit kecil, yang jadi aliran yang lebih besar yang dapat mengaliri sawah di kaki bukit itu. Sawah yang dikerjakan oleh para penghuni bukit itu serta para cantrik. Selain untuk mengaliri sawah, para cantrik juga membuat blumbang untuk memelihara berbagai jenis ikan. Sekali-sekali Glagah Putih dan Rara Wulan ditemani oleh orang-orang tertua di padepokan itu. Namun pada kesempatan yang lain, mereka hanya berdua saja berjalan-jalan di sekeliling bukit kecil itu. Ketika kepada Ki Kumuda Glagah Putih bertanya tentang beberapa batang pohon raksasa yang dipagari dan dianggap keramat, Ki Kumuda pun menjawab, “Kita hormati pepohonan raksasa itu, Ngger. Di sela-sela akar-akarnya yang menebar di bawah bumi, tersimpan air. Pepohonan itu sudah memberikan percikan kehidupan kepada lingkungan ini.” Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata para pemimpin di padepokan itu cukup bijaksana. Dengan caranya, mereka mencegah para penghuni bukit itu menebang pepohonan raksasa yang membuat bukit itu tetap basah. Tiga buah umbul yang besar, beberapa sendang kecil yang bertebaran di lereng bukit, menyatu dengan parit-parit yang menampung air yang merembes dari sela-sela batu padas itu, membuat tanah di sekitar bukit itu menjadi daerah persawahan yang subur. Namun sambil melihat-lihat lingkungan di sekeliling bukit kecil itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat juga melihat kemungkinan, bahwa ada satu tempat yang dapat mereka pakai untuk menyembunyikan peti kecilnya. Hanya petinya. Tanpa isinya, yang sudah dilekatkan dengan tubuh Glagah Putih. Tetapi di luar sadar mereka, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan-jalan dengan Ki Kumuda di sisi yang agak curam dari tebing bukit kecil itu, dua pasang mata selalu mengawasi mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri di balik gerumbul perdu di tebing bukit itu, memandang ketiga orang yang berjalan di jalan setapak di bawah tebing yang agak curam itu dengan seksama. “Tentu dua orang yang masih terhitung muda itulah yang dikatakan sepasang suami istri yang berilmu sangat tinggi,” berkata laki-laki yang bertubuh kekar, berdada bidang. Wajah yang nampak keras dengan mata yang cekung itu merupakan ungkapan dari kekerasan hatinya serta kecerdikannya. “Ya,” sahut seorang perempuan yang berdiri di sebelahnya. Seorang perempuan yang termasuk tinggi dibanding dengan perempuan kebanyakan. Tubuhnya yang ramping itu nampak seakan-akan tidak berbobot. “Kita tidak akan melepaskan kesempatan ini. Mereka-lah sebenarnya yang telah memporak-porandakan rencana kita setelah kita berhasil memperalat Dandang Ireng, sehingga Dandang Ireng tidak berhasil merebut kekuasaan di bukit kecil itu.” “Apa yang sebaiknya kita lakukan, Kakang?” “Keduanya harus kita singkirkan dari bukit ini. Baru kemudian kita mencari kesempatan untuk menguasai bukit kecil itu, sebagaimana yang sudah kita rencanakan dengan mempergunakan Dandang Ireng sebagai alatnya. Kita akan dapat mendirikan sebuah perguruan dengan nama sebagaimana nama perguruan yang sudah ada di sana.” “Bukankah dengan demikian kita harus mulai dari permulaan lagi?” “Ya. Kita tidak mempunyai pilihan. Karena itu maka kita harus segera mulai. Adalah sangat menguntungkan bahwa sekarang kita menemukan kedua orang suami istri itu. Kita akan melenyapkan mereka, sebagai pernyataan bahwa langkah kita yang baru sudah kita mulai.” “Yang seorang lagi?” bertanya perempuan itu. “Bukankah orang itu salah seorang pemimpin dari perguruan ini? Bukankah orang itu yang bernama Kumuda?” “Ya. Tetapi apa yang harus kita lakukan atas orang itu?” “Jika kita melenyapkan sepasang suami istri itu, maka kita juga harus membunuh Kumuda. Tetapi bukankah menyingkirkan Kumuda tidak akan terlalu sulit bagi kita?” “Jika Kumuda itu bekerja sama dengan sepasang suami istri itu?” “Seberapa tinggi ilmu sepasang suami istri yang nampaknya masih terlalu muda untuk menghadapi kita berdua, maka keduanya tidak akan banyak memeras keringat kita. Bahkan bersama Kumuda sekalipun.” “Kumuda termasuk seorang yang berilmu tinggi. Menurut keterangan mereka yang sempat melarikan diri dan melihat cara sepasang suami istri itu bertempur, maka keduanya berilmu sangat tinggi.” “Jangan terpengaruh oleh laporan para cucurut itu. Mereka adalah pengecut yang tidak berguna sama sekali. Sebenarnya aku ingin membunuh mereka, tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Pada kesempatan mendatang, mereka akan dapat kita jadikan umpan lagi bersama orang lain, sebagaimana mereka menyertai Dandang Ireng memasuki padepokan yang pernah dihuninya itu.” “Jika itu pertimbangan Kakang, baiklah. Jangan biarkan mereka menjadi semakin jauh.” Keduanya pun kemudian bergerak dengan cepat. Bukan hanya perempuan yang bertubuh tinggi dan ramping itu sajalah yang seakan-akan tidak berbobot sehingga mampu bergerak dengan ringan, tetapi laki-laki yang bertubuh kekar itu pun mampu pula bergerak dengan cepatnya. Ketika mereka bergerak di sela-sela gerumbul perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun tiba-tiba berhenti. Ki Kumuda pun berhenti. Tetapi ia tidak segera mendengar sebagaimana didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun beberapa saat kemudian, maka ia pun berdesis, “Ya. Aku mendengarnya.” Ketiga orang itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka pun segera melihat dua sosok yang seakan-akan terbang menukik dari belakang gerumbul di atas tebing yang tidak terlalu tinggi itu. Dua orang laki-laki dan perempuan itu pun kemudian dengan lunak menapak di hadapan Glagah Putih, istrinya dan Ki Kumuda. Ketiga orang itu bergeser surut setapak. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata, “Kalian berdua telah mengejutkan kami.” “Maaf, Ki Sanak,” sahut laki-laki separo baya yang bermata cekung itu. “Kami tidak bermaksud mengejutkan kalian.” “Siapakah kalian berdua, dan apakah maksud kalian menghentikan kami bertiga?” bertanya Glagah Putih kemudian. “Jadi kalian belum mengenal kami?” “Belum, Ki Sanak.” “Baiklah. Jika demikian kami akan memperkenalkan diri kami. Orang menyebutku Gagak Bergundung. Perempuan ini adalah istriku, Nyi Gagak Bergundung.” Ki Kumuda terkejut mendengarkan nama itu. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Jadi kalian berdua inikah yang digelari Suami Istri Gagak Bergundung dari Goa Susuhing Angin?” “Kau sudah mendengar namaku, Kumuda.” “Aku sudah mendengarnya. Tetapi kau pun sudah tahu namaku.” “Aku dapat mengenali hampir setiap penghuni padepokan ini, kecuali mereka para pemula. Aku dapat mengenali Umbul Telu, Lampita, Kumuda dan Ganjur, kemudian masih ada beberapa orang lain pada lapisan atas murid-murid Perguruan Awang-Awang. Selain mereka, maka para murid perguruan ini pun membuat tempat tinggal tersebar di atas bukit ini. Selain mereka, masih ada sekelompok anak-anak muda yang tinggal di bangunan utama padepokanmu.” “Dari mana kau tahu?” Orang yang menyebut dirinya Gagak Bergundung itu tertawa. Di sela-sela suara tertawanya ia pun berkata, “Tetapi ada bedanya, Kumuda. Jika aku mengenalmu, bukan karena namamu yang besar dan pantas untuk dikenal. Tetapi aku sengaja berusaha mengenali orang-orang yang berada di atas bukit ini. Berbeda dengan namaku, yang banyak dikenal karena kami berdua memang pantas dikenal.” “Untuk apa kau datang kemari, Gagak Bergundung?” bertanya Ki Kumuda. “Kami hanya ingin sekedar melihat-lihat bukitmu, Kumuda.” “Hanya itu?” “Ya. Tetapi ternyata di sini aku melihat dua orang yang telah mengotori bukitmu ini. Kedua suami istri ini.” “Kenapa kau anggap mereka mengotori bukit ini? Mereka justru telah membantu kami menghadapi saudara-saudara seperguruan kami yang tekah berkhianat.” “Satu cerita yang menggelikan. Apalah artinya dua orang laki-laki dan perempuan ini bagi perguruanmu, yang telah memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi?” “Lawan kami terlalu banyak. Karena itu kami merasa sangat berhutang budi kepada keduanya, yang telah terjun di kancah pertempuran dan ternyata keduanya berilmu sangai tinggi.” “Kau telah dipengaruhi oleh sikap sombong mereka. Aku juga sudah mendengar, seakan-akan keduanya mampu menyapu lereng bukit ini yang dirayapi oleh para pengikut Dandang Ireng.” “Ya.” “Dengan demikian, maka kedatangan kami berdua tidaklah sia-sia.” “Apa maksudmu?” bertanya Ki Kumuda. “Aku, Gagak Bergundung suami istri yang tidak terkalahkan di daerah Selatan ini, ingin membuktikan, apakah benar keduanya berilmu tinggi. Jika mereka mengiyakan anggapan orang bahwa mereka berilmu tinggi, maka mereka harus dapat setidaknya mengimbangi kemampuan kami. Kami berdua tidak mau kehilangan gelar kami, bahwa kami adalah orang-orang yang tidak terkalahkan.” “Gagak Bergundung,” bertanya Giugah Putih kemudian, “apakah sebenarnya alasanmu, sehingga kau menantang kami berdua untuk melawanmu? Bukankah kita belum pernah bertemu dan belum pernah saling bersinggungan kepentingan?” “Sudah aku katakan, bahwa aku tidak ingin kehilangan gelarku. Aku tidak mau ada orang lain yang dianggap berilmu sangat tinggi di daerah kuasaku. Karena itu, maka setiap orang yang muncul di dunia olah kanuragan, harus aku pangkas dan bahkan harus aku bongkar sampai ke akarnya. Bukan hanya kalian berdua yang akan aku musnahkan, tetapi juga perguruan kalian. Guru kalian dan saudara-saudara seperguruan kalian. Aku yakin bahwa kalian bukan lahir dan besar di Perguruan Awang-Awang.” “Apakah alasanmu itu sudah cukup pantas untuk menantang orang lain untuk bertempur?” “Tentu.” “Bagaimana pendapatmu jika kami mengakui, bahwa kalian berdua adalah orang yang memiliki ilmu tertinggi di lingkungan ini?” “Mungkin kau akan mengakui kebesaran namaku di hadapanku. Tetapi esok atau lusa jika kau tidak berada dihadapanku, kau akan berkata lain.” “Bukankah kau dapat mencari kami dan membuat perhitungan?” “Itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Kenapa aku harus menunggu kau ingkari pernyataanmu? Bukankah sekarang kita sudah bertemu? Menurut pendapatku, agar kami tidak membuang-buang waktu, kami akan membunuh kalian bertiga. Sesudah itu kami tidak akan terganggu lagi oleh keingkaran kalian terhadap pengakuan kalian di hadadapanku sekarang.” “Gagak Bergundung,” berkata Glagah Putih, “alasanmu itu tentu alasan yang sekedar kau buat-buat.” Gagak Bergundung itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata dengan lantang, “Apapun yang kau katakan, aku akan tetap membunuh kalian berdua. Apapun alasannya. Karena itu, bersiaplah untuk mati.” “Jadi inilah kenyataan tentang sepasang suami istri yang bernama Gagak Bergundung, dari Goa Susuhing Angin di perbukitan di sebelah Rawa Pening itu?” geram Ki Kumuda. “Nama besarmu ternyata muncul dari kuasa kegelapan.” “Jangan sesali nasibmu yang buruk, Kumuda. Karena aku akan membunuh kedua orang suami istri yang tidak tahu diri ini, maka kau pun akan mati, agar kau kau tidak menjadi saksi kematian kedua orang suami istri ini.” “Kematian bukan sesuatu yang menakutkan, Gagak Bergundung. Jika sudah waktunya datang, dimanapun serta dengan sebab apapun, maka mati itu akan menjemputku. Tetapi jika hari ini waktumu-lah yang akan datang, maka kau berdua-lah yang akan mati.” “Aku ingin mengoyak mulutmu, Kumuda. Atau kau-lah yang akan mati lebih dahulu dari kedua orang ini.” “Tidak, Gagak Bergundung,” sahut Glagah Putih, “kau berdua atau kami berdua. Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu, jika kalian ingin bertempur melawan Ki Kumuda. Kalian berdua memang bukan lawan Ki Kumuda. Sebelum kalian dapat berbuat apa-apa, jantung kalian sudah berhent berdenyut. Tetapi jika kalian lebih dahulu bertempur melawan kami berdua, maka kalian masih akan mempunyai kesempatan untuk menikmati perbandingan ilmu di antara kita.” “Anak iblis kalian semuanya. Baik. Kami berdua akan lebih dahulu membunuh kalian berdua. Tetapi jika Kumuda ingin melibatkan diri, kami sama sekali tidak berkeberatan, karena dengan demikian, maka pekerjaan kami akan lebih cepat selesai.” “Tidak,” sahut Glagah Putih, “kami berdua, dan kalian pun berdua. Ki Kumuda akan menjadi saksi, apakah yang akan terjadi di antara kita.” “Persetan, anak iblis. Kesombonganmu telah menyentuh langit. Tetapi kau akan segera mati. Istrimu juga akan mati. Demikian pula Kumuda. Betapapun tinggi ilmunya, tetapi bagi kami, Kumuda tidak lebih dari seekor nyamuk yang akan mati dengan sekali tepuk.” “Beri aku kesempatan, Ngger,” geram Ki Kumuda. “Biarlah aku menanggapinya, Paman. Kami-lah yang sebenarnya menjadi sasaran mereka, apapun alasannya. Karena itu, biarlah kami yang melayaninya, karena persoalannya adalah antara kami berdua dan mereka berdua.” “Bagus,” Gagak Bergundung itu pun menyahut dengan nada tinggi, “segera bersiaplah untuk mati. Mayat kalian bertiga akan aku lemparkan ke jurang itu, hingga saatnya baunya mengganggu anak-anak yang sedang menggembalakan kambingnya.” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun berkata kepada Ki Kumuda, “Minggirlah, Ki Kumuda. Biarlah kami berdua melayani kedua iblis dari Goa Susuhing Angin ini.” Ki Kumuda tidak menjawab. Ia sadari kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagaimana dilaporkan para murid Perguruan Awang-Awang. Karena itu maka ia pun bergeser surut. Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan dengan Gagak Bergundung suami istri. “Sayang bahwa kecantikanmu akan ikut terlempar ke jurang itu, anak manis,“ desis Nyi Gagak Bergundung, yang bertubuh tinggi melampaui kebanyakan perempuan. Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mengangkat wajahnya pada saat ia berbicara dengan Nyi Gagak bergundung. Ada kecantikan terkesan di wajah Nyi Gagak Bergundung. Tetapi ada pula kesan keganasannya. Ketika perempuan itu tertawa, maka suara tertawanya melengking tinggi, seperti suara tertawa hantu perempuan yang melihat tanah yang masih merah di pekuburan. “Nyi,” tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “kalau aku boleh bertanya, berapa umurmu sekarang?” Nyi Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba ia pun tertawa, “Untuk apa kau tanyakan berapa umurku?” “Wajahmu membingungkan. Kadang-kadang aku melihat kau seolah-olah baru berumur sekitar tiga puluh tahun. Tetapi kemudian wajahmu itu berkerut, sehingga rasa-rasanya kau sudah berumur lima puluh tahun lebih.” “Ternyata kau benar-benar anak iblis. Dalam keadaan yang gawat, dan bahkan umurmu akan terputus sampai hari ini, kau masih sempat bergurau.” “Aku tidak bergurau, Nyi. Aku benar-benar bingung melihat garis-garis wajahmu. Tetapi yang jelas bahwa kau adalah perempuan yang bengis tanpa kelembutan sama sekali.” “Kau benar,” jawab Nyi Gagak Bergundung, “aku bukan perempuan yang cengeng yang bermanja-manja dan memanjakan orang. Selama ini kami adalah suami istri yang sangat ditakuti, karena kami membunuh orang yang tidak kami kehendaki untuk hidup terus sebagaimana kalian berdua, karena kalian berdua akan dapat mengganggu pekerjaan-pekerjaan kami di kemudian hari.” “Apakah pekerjaanmu?” Nyi Gagak Bergundung terdiam sesaat. Namun sambil menggeram ia pun menjawab, “Pekerjaanku adalah membunuh. Karena itu bersiaplah. Sebentar lagi aku akan membunuhmu.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu ia melihat Glagah Putih sudah bergeser menjauh dan mulai bertempur melawan Ki Gagak Bergundung. “Nampaknya perempuan ini bersungguh-sungguh,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. “Agaknya suami istri ini benar-benar pembunuh yang tidak berjantung. Mereka dapat membasahi tangan mereka dengan darah orang-orang yang tidak bersalah sekalipun, dengan tanpa debar di dada mereka.“ Karena itu, maka Rara Wulan pun harus mempersiapkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Ia belum tahu tataran ilmu perempuan itu yang sesungguhnya, sedangkan niat perempuan itu untuk membunuhnya bukan sekedar untuk mengancamnya saja. “Bayangan kematianmu sudah nampak di wajahmu, perempuan cantik,” desis Nyi Gagak Bergundung sambil tersenyum. Senyumnya telah menggetarkan jantung Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan menjawab, “Kau keliru, Nyi. Yang kau lihat di sorot mataku bukan bayangan kematianku, tetapi isyarat akan kematian lawanku. Agaknya isyarat itu sudah kau lihat sendiri.” “Persetan kau.” Perempuan yang bertubuh tinggi itu tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Ia pun segera bergeser menghindari serangan itu, dan bahkan ia pun segera membalas menyerang. Serangan Rara Wulan ternyata mengejutkan lawannya. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan mampu bergerak setangkas itu. Sehingga dengan demikian, maka perempuan itu seolah-olah telah diperingatkan untuk berhati-hati menghadapi perempuan yang masih terhitung muda itu. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan saling menghindar. Keduanya berloncatan dengan cepatnya. Ki Kumuda yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Dilihatnya dua orang laki-laki sedang bertempur dengan garangnya, sementara dua orang perempuan bertempur dengan gerak yang cepat, tangkas dan cekatan. “Mereka adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi,” desis Ki Kumuda. Namun ketika mereka sudah bertempur beberapa lama, maka Ki Gagak Bergundung dan Nyi Gagak Bergundung mulai menyadari, bahwa lawan mereka adalah benar-benar orang berilmu tinggi yang mampu mengimbangi ilmu mereka. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka selapis demi selapis. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menyadari bahwa kedua orang suami istri yang bernama Gagak Bergundung itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Semakin lama pertempuran pun menjadi semakin sengit. Nyi Gagak Bergundung yang mendapat lawan yang mampu menahan serangan-serangannya, menjadi semakin marah. Ia tidak mengira bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya, bahkan setelah ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi. “Dimana anak ini menimba ilmu?” desis Nyi Gagak Bergundung. Bahkan ia melihat unsur-unsur gerak yang mulai membingungkannya. Sebenarnyalah ketika pertempuran menjadi semakin sengit, serta Nyi Gagak Bergundung meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Rara Wulan pun mulai menapak ke dalam tata gerak ilmu yang semakin rumit. Meskipun ia masih berpijak kepada unsur-unsur gerak dari ilmu perguruan yang diturunkan lewat Ki Sumangkar di bawah bimbingan Sekar Mirah, serta ilmu yang disadapnya dari perguruan Ki Sadewa dan Kiai Gringsing lewat suaminya dan Agung Sedayu, namun segala sesuatunya telah menjadi semakin matang. Arti dari setiap gerakan, arah serta sasarannya, menjadi semakin tajam. Namun dengan demikian, Nyi Gagak Bergundung yang mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi agak sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak itu. Ia menjadi bingung untuk menyebut, perempuan yang masih terhitung muda itu dilahirkan dari jalur perguruan yang mana. Nyi Gagak Bergundung itu pun kemudian semakin meningkatkan ilmunya, untuk memaksa Rara Wulan menunjukkan alas yang paling mendasar dari perguruannya. Dalam keadaan yang sulit, maka seseorang akan terpaksa kembali pada ilmu yang paling dikuasainya. Tetapi debar di jantung Nyi Gagak Bergundung itu menjadi semakin keras, ketika ia sadari bahwa unsur-unsur gerak lawannya itu masih tetap saja membingungkannya. Bahkan meskipun Nyi Gagak Bergundung mencoba menekan perempuan yang masih terhitung muda itu, sama sekali tidak berhasil. Serangan-serangan Nyi Gagak Bergundung yang datang membadai, masih saja selalu dihindari oleh Rara Wulan. Tetapi ketika Nyi Gagak Bergundung bergerak semakin cepat, maka Rara Wulan tidak lagi selalu menghindar. Dengan hati-hati ia mulai menjajagi kekuatan dan tenaga Nyi Gagak Bergundung. Benturan-benturan kecil pun tidak lagi dapat dihindari. Namun benturan-benturan kecil itu sudah cukup mengejutkan Nyi Gagak Bergundung. “Gila anak ini,” berkata Nyi Gagak Bergundung di dalam hatinya, “dari mana ia menyadap kekuatan dan tenaga yang demikian kuatnya, dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar?” Sebenarnyalah dalam benturan-benturan yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung merasa betapa kuatnya tenaga lawannya itu. Tetapi Nyi Gagak Bergundung masih merasa bahwa dirinya adalah bagian dari sepasang Gagak yang namanya ditakuti oleh banyak orang. Bahkan gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun yang garang pun hatinya akan menjadi kuncup jika mereka mendengar nama Gagak Bergundung. Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung itu masih tetap yakin bahwa ia akan dapat menghancurkan perempuan yang sombong itu. Dalam pada itu, pertempuran antara Gagak Bergundung melawan Glagah Putih pun menjadi semakin sengit. Ki Gagak Bergundung juga menjadi heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang ditingkatkannya semakin tinggi. Dalam gejolak kemarahannya, maka Ki Gagak Bergundung pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke tataran tertinggi, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat kuat. Tetapi ternyata bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang tenaga dalam lawannya itu sempat mengejutkannya. Ketika tataran ilmu keduanya menjadi semakin tinggi, maka serangan-serangan mereka pun silih berganti mulai menembus pertahanan lawan. Sekali-sekali serangan Gagak Bergundung sempat mendorong Glagah Putih beberapa langkah surut. Namun pada kesempatan lain, Gagak Bergundung-lah yang terlempar surut dan bahkan kehilangan keseimbangannya. Namun demikian Gagak Bergundung itu terjatuh, maka ia pun segera melenting berdiri. Namun sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih yang menjadi lebih sering menembus pertahanan Gagak Bergundung. Bahkan sentuhan-sentuhan serangan Glagah Pulih itu pun terasa mulai menyakiti tubuhnya. “Gila orang ini,” geram Gagak Bergundung, “ternyata orang ini memang berilmu tinggi.” Di atas sebuah batu padas yang besar, Ki Kumuda berdiri dengan wajah yang tegang. Sekali-sekali ia memperhatikan Glagah Putih yang bertempur melawan Gagak Bergundung. Namun sejenak kemudian, perhatiannya tertuju kepada pertempuran antara Rara Wulan dan Nyi Gagak Bergundung. Bahkan sampai beberapa lama, Ki Kumuda tidak dapat meyakini, siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Ketika kemudian terjadi benturan-benturan di antara Glagah Putih dan Gagak Bergundung, maka Ki Kumuda pun mulai berpengharapan. Ia melihat bahwa kekuatan Glagah Putih yang didukung oleh tenaga dalamnya ternyata lebih besar dari lawannya. Di setiap benturan yang terjadi, maka Gagak Bergundung-lah yang selalu tergetar surut. Demikian pula Rara Wulan yang bertempur melawan Nyi Gagak Bergundung. Agaknya Rara Wulan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari lawannya. Namun Ki Kumuda pun menyadari bahwa orang-orang yang berilmu tinggi terbiasa menyimpan ilmu pamungkasnya, yang hanya akan dipergunakan pada saat-saat yang paling gawat. Ilmu pamungkas itulah yang biasanya akan menentukan, siapakah di antara mereka yang akan mampu mengalahkan lawannya. Ki Kumuda meyakini bahwa Gagak Bergundung suami istri yang namanya ditakuti oleh banyak orang itu mempunyai pegangan yang diandalkannya sebagai ilmu pamungkasnya. Tetapi agaknya Gagak Bergundung itu masih belum merasa perlu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya. Dalam keadaan yang semakin sulit karena serangan-serangan Glagah Putih yang semakin sering menembus pertahanannya, maka Gagak Bergundung tidak segera sampai pada ilmu puncaknya itu. Tetapi Gagak Bergundung masih akan mencoba kemampuannya mempergunakan senjata. Ketka Gagak Bergundung tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, ia tidak segera melepaskan ilmu puncaknya. Tetapi ditariknya goloknya yang besar, yang berada di sarungnya yang melekat di punggungnya. “Aku akan membelah kepalamu dan menaburkan otakmu yang penuh dengan kesombongan itu, anak iblis,“ geram Gagak Bergundung. Glagah Putih meloncat surut. Ia melihat golok yang besar, panjang dan tentu berat. Tetapi di tangan Gagak Bergundung, golok itu berputaran seperti baling-baling blarak. “Jangan sesali nasibmu yang buruk,” berkata Gagak Bergundung lebih lanjut. “Baiklah,” sahut Glagah Putih, “aku tidak ingin kepalaku terbelah. Karena itu, maka aku pun akan mempergunakan senjataku.” Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengurai ikat pinggangnya yang merupakan senjata andalannya. Gagak Bergundung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apa artinya ikat pinggangmu itu? Golokku adalah golok pusaka turun temurun. Golokku dibuat oleh seorang Empu di pertapaannya, di kaki Gunung Kendeng, lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Ayahku telah membabat puluhan lawannya dengan golok ini. Kakekku-lah yang telah membunuh Ki Jalak Ambal yang diakui dapat menghilang itu, dan membelah dadanya. Sedangkan aku telah memenggal kepala lawan-lawanku yang jumlahnya tidak terhitung lagi.” “Ada dua kemungkinan pada ceritamu itu, yang kedua-duanya tidak berharga bagiku. Pertama, kau membual. Seorang pembual adalah seorang yang licik dan biasanya seorang pengecut. Kedua, jika ceritamu itu benar, maka kau adalah bayangan kuasa kegelapan yang harus dihancurkan. Hidupmu sama sekali tidak berharga bagi sesamamu. Apalagi bagi Pencipta jagad raya ini. Kau adalah kerak kehidupan yang hanya akan mengotori bumi ini.” Wajah Gagak Bergundung menjadi merah. Kemarahannya telah membuat jantungnya bagaikan membara. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang Glagah Putih dengan garangnya. Goloknya yang besar dan berat itu terayun-ayun bagaikan selembar klaras kering yang tidak berbobot. Tetapi Glagah Putih mampu bergerak cepat sekali. Setelah menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh kitab Ki Namaskara, maka Glagah Putih telah mengalami loncatan yang jauh pada tataran ilmunya. Karena itu, menghadapi Gagak Bergundung, Glagah Putih mampu menempatkan dirinya pada lapis yang bahkan lebih tinggi dari lawannya. Meskipun demikian, Gagak Bergundung itu pun masih saja berteriak, “Apapun yang kau lakukan, anak iblis, golok pusakaku yang disebut Kiai Naga Padma ini akan menyelesaikan tugasnya dengan baik.” Glagah Putih tidak menghiraukannya. Tetapi Ki Kumuda-lah yang menjadi semakin tegang. Nama Gagak Bergundung telah membuatnya berdebar-debar. Apalagi ketika ia mendengar nama golok Kiai Naga Padma. Tetapi bagaimana mungkin golok Kiai Naga Padma berada di tangan seorang yang muncul dari kuasa kegelapan itu? Menurut pendengarannya, Kiai Naga Padma adalah pusaka seorang pertapa, yang pada masa sebelumnya banyak berbuat kebajikan dan menolong sesamanya. Seorang pertapa yang hanya diketahuinya dengan sebutan Kiai Pupus Kendali. Namun nama Kiai Pupus Kendali itu sudah lama tidak pernah disebut-sebut lagi. “Kakang Umbul Telu mungkin mengetahui lebih banyak tentang Kiai Naga Padma,” desis Ki Kumuda. Sebenarnyalah bahwa golok di tangan Gagak Bergundung itu telah memaksa Ki Kumuda menjadi berdebar-debar. Putaran golok itu seolah-olah memunculkan bara yang kemerah-merahan di udara. Galagah Putih yang bertempur dengan sengitnya, harus melihat kenyataan itu pula. Dengan jantung yang berdebar ia mulai memperhatikan golok di tangan lawannya yang garang itu. “Luar biasa,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “golok itu tentu bukan golok yang dibuat oleh pande besi kebanyakan. Golok itu tentu dibuat oleh seorang Empu yang mumpuni, yang jarang ada duanya.” Namun di tangan Glagah Putih pun tergenggam senjatanya yang dapat dipercaya. Meskipun ujudnya hanya sebuah ikat pinggang, tetapi senjata itu sudah terbukti memiliki kelebihan dari jenis-jenis senjata yang lain. Apalagi di tangan Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi, setelah ia menguasai sebagian besar isi kitab, yang menurut tanggapannya diterimanya dari Kiai Namaskara, meskipun dengan cara yang tidak dapat dimengertinya. Dengan demikian, maka keberadaan golok Kiai Naga Padma di tangan Gagak Bergundung sama sekali tidak menggetarkan jantung Glagah Putih. Apalagi setelah mereka terlibat dalam pertempuran yang sengit. Gagak Bergundung yang mengira akan dapat segera menebas senjata lawannya sehingga putus, ternyata sangat mengejutkannya. Ketika kedua senjata itu beradu, maka seakan-akan golok yang dibanggakan oleh Gagak Bergundung itu membentur tongkat baja yang tidak tergoyahkan. Di luar sadarnya, Gagak Bergundung itu mengumpat kasar. Justru tangannya-lah yang tergetar sehingga telapak tangannya terasa pedih. Gagak Bergundung meloncat beberapa langkah surut. Sedangkan Glagah Putih sengaja tidak memburunya. Glagah Putih sengaja memberi waktu kepada Gagak Bergundung untuk memahami apa yang baru saja terjadi. “Dari mana kau dapatkan senjatamu itu?” geram Gagak Bergundung. Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku membelinya di pasar di padukuhan sebelah,” jawab Glagah Putih sambil tersenyum. “Pasar yang hampir mati karena para pedagang tidak mau singgah lagi. Pasar yang dibayangi oleh kerusuhan karena para perampok dan penyamun yang berkeliaran di jalan-jalan.” “Persetan dengan bualanmu.” “Jadi, menurut pendapatmu, dari mana aku dapatkan senjata ini?” “Kau akan menyesali kesombonganmu itu.” “Aku atau kau.” Gagak Bergundung yang menjadi semakin marah itu telah meloncat menyerangnya pula. Goloknya yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher Glagah Putih. Namun dengan tangkasnya pula Glagah Putih menggerakkan senjatanya. Dengan paduan antara jenis senjatanya pilihan di tangannya serta ilmunya yang sangat tinggi, dilambari pula oleh tenaga dalamnya, maka Glagah Putih menangkis serangan lawannya. Pada saat kedua senjata pilihan itu beradu, maka segumpal bunga api telah memercik ke udara. Ternyata Gagak Bergundung justru telah terguncang. Beberapa langkah ia tergetar surut. Sementara itu, Glagah Putih masih berdiri tegak di tempatnya. Sekali lagi Gagak Bergundung mengumpat kasar. Namun ia tidak dapat mengelak dari kenyataan, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang sulit dibayangkannya. Namun Gagak Bergundung masih mempunyai harapan untuk memenangkan pertempuran itu. Ia masih mempunyai beberapa simpanan yang akan dapat dipergunakan untuk mengakhiri pertempuran, jika tidak ada lagi jalan lain. Dalam pada itu, Ki Kumuda yang menjadi penasaran atas keberadaan golok itu di tangan Gagak Bergundung, telah berteriak, “He, Gagak Berundung! Darimana kau dapatkan golok Kiai Naga Padma itu? Bukankah golok itu milik seorang pertapa yang dikenal dengan nama Kiai Pupus Kendali?” “Persetan dengan Pupus Kendali. Ia bukan apa-apa bagi ayahku. Pupus Kendali tidak lebih dari belalang yang menyebut dirinya elang.” “Kau telah membunuhnya?” Gagak Bergundung tidak sempat menjawab. Serangan Glagah Putih datang beruntun, sehingga Gagak Bergundung harus berloncatan surut. Namun kemudian Glagah Putih justru menghentikan serangannya sambil berkata, “Jawab pertanyaan Ki Kumuda. Kau bunuh Kiai Pupus Kendali itu?” “Apa pedulimu dengan Kiai Pupus Kendali? Sekarang aku akan membunuhmu, anak bengal.” Gagak Bergundung-lah yang kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kecepatan yang tinggi. Namun Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Gagak Bergundung itu. Yang terjadi kemudian adalah pertempuran dengan irama yang semakin cepat. Gagak Bergundung merasa bahwa ia tidak mungkin beradu kekuatan dan tenaga dengan orang yang masih terhitung muda itu. Tetapi Gagak Bergundung akan mengandalkan pertempuran selanjutnya dengan kecepatan geraknya. Goloknya yang besar itu semakin cepat berputar dengan meninggalkan cahaya kemerah-merahan di udara. Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun masih bertempur dengan garangnya melawan Rara Wulan. Ternyata seperti Gagak Bergundung, istrinya itu pun tidak mengira bahwa ia akan berhadapan dengan seorang perempuan yang masih terhitung muda, namun berilmu sangat tinggi. Jika semula para pengikut Dandang Ireng melaporkan kepadanya tentang ilmu dua orang suami istri yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih sangat meragukannya. Namun di medan, ia benar-benar bertemu dengan perempuan sebagaimana dikatakan oleh pengikut Dandang Ireng itu. Seperti suaminya, maka dalam keadaan terdesak Nyi Gagak Bergundung pun telah menarik senjatanya. Sebilah pedang yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkeredipan. “Jarang dapat dijumpai pedang yang dibuat dengan pamor yang mendebarkan itu,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Dengan demikian ia pun mengerti bahwa pedang itu bukanlah sembarang pedang. Agaknya Nyi Gagak Bergundung pun menyadari bahwa Rara Wulan memperhatikan pedangnya yang dibanggakannya. “Kau perhatikan pedangku, perempuan cantik?” bertanya Nyi Gagak Bergundung. “Ya,” jawab Rara Wulan, “pedangmu adalah pedang yang sangat bagus.” “Bukan sekedar bagus buatannya. Tetapi pedangku adalah pedang yang bertuah. Tidak seorangpun yang dapat lolos dari ujung pedangku jika aku sudah terlanjur menariknya dari wrangkanya.” “O, ya?” “Pedangku adalah senjata pemberian guruku. Aku adalah murid perempuan terbaik di perguruanku, sehingga guruku telah mewariskan pedang ini kepadaku. Pedang yang dinamainya Kiai Samekta, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kiai Tigas Prahara.” “Nama yang membuat kulitku meremang.” “Tidak hanya meremang. Tetapi kulitmu akan terkoyak-koyak sebelum tubuhmu akan terkapar di jurang itu.” “Kita akan melihat, siapakah yang lebih beruntung di antara kita.” Nyi Gagak Bergundung tidak menyahut. Tetapi ia pun mulai memutar pedangnya. Desingnya seperti gaung sendaren merpati yang terbang berputar di langit. Rara Wulan bergeser surut, Ia pun segera melepaskan selendangnya dan memegang kedua ujungnya dengan kedua tangannya. “Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?” Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja satu ujung selendangnya itu terjulur lurus mengarah ke dada Nyi Gagak bergundung. Perempuan itu terkejut. Dengan serta merta ia memiringkan tubuhnya untuk menghindari serangan itu. Tetapi Nyi Gagak Bergundung itu tidak sepenuhnya terlepas dari garis serangan selendang Rara Wulan. Ujung selendang Rara Wulan masih juga menyentuh bahu Nyi Gagak Bergundung. Akibatnya ternyata sangat menyakitkan hati perempuan bertubuh tinggi ramping dan berwajah bengis itu. Terdengar ia berdesah tertahan. Namun tubuhnya menjadi goyah. Selangkah ia bergeser surut, dan bahkan hampir saja Nyi Gagak Bergundung kehilangan keseimbangannya. “Anak iblis,“ geram Nyi Gagak Bergundung, “aku bunuh kau. Aku belah jantung di dadamu.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perempuan itu sudah bersiap sepenunya untuk menghadapi segala kemungkinan. Demikianlah, keduanya pun segera tenggelam dalam pertempuran yang sengit. Serangan Nyi Gagak Bergundung pun datang susul menyusul bagaikan ombak yang berguncang di lautan. Tetapi serangan Nyi Gagak Bergundung tidak meruntuhkan pertahanan Rara Wulan. Bahkan Nyi Gagak Bergundung merasa betapa sulitnya menembus pertahanan itu. Sekali-sekali ujung pedang Nyi Gagak Bergundung terjulur mengarah ke sasaran. Namun ternyata bahwa Rara Wulan selalu saja sempat bergeser menghindar. Bahkan ketika Nyi Gagak Bergundung yang telah berada di tataran yang lebih tinggi dari ilmunya, sehingga tubuhnya seakan-akan dapat melayang di udara dengan kecepatan yang sangat tinggi, Nyi Gagak Bergundung masih saja tidak mampu menyentuh tubuh Rara Wulan dengan ujung senjatanya. Rara Wulan pun mampu mengimbangi kecepatan gerak Nyi Gagak Berundung. Bahkan dalam benturan senjata yang terjadi, Nyi Gagak Bergundung justru merasakan betapa tenaga dalam lawannya menjadi semakin besar. Dalam pertempuran yang menjadi semakin sengit, serangan Rara Wulan-lah yang semakin sering menembus pertahanan Nyi Gagak Bergundung. Ujung selendangnya beberapa kali sempat menyentuh tubuh lawannya. Bahkan ketika ujung selendang Rara Wulan tepat mengenai dada Nyi Gagak Bergundung, maka Nyi Gagak Bergundung itu pun terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan kemudian kehilangan keseimbangan. Nyi Gagak Bergundung itu pun jatuh terlentang. Untunglah bahwa segerumbul perdu sempat menahan tubuhnya, sehingga tidak terguling ke dalam jurang. Meskipun jurang itu tidak begitu dalam, namun tumbuh-tumbuhan berduri yang tumbuh di lereng jurang itu akan dapat menyakitinya. Agaknya Nyi Gagak Bergundung tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun ia bersenjata pedang pemberian gurunya, namun pedang itu tidak mampu menyentuh kulit lawannya. Karena itu, maka Nyi Gagak Bergundung telah berniat untuk mengakhiri pertempuran itu dengan mempergunakan ilmui puncaknya. Karena itu, demikian Nyi Gagak Bergundung itu bangkit berdiri, maka ia pun justru menyarungkan pedangnya. Rara Wulan pun menyadari apa yang akan dilakukan oleh Nyi Gagak Bergundung. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera mengikatkan selendangnya di lambungnya. Namun tiba-tiba terdengar isyarat yang menghentak daun telinga. Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat Gagak Bergundung bagaikan kilat menyambar pergelangan tangan istrinya. Sesaat kemudian, kedua bayangan itu bagaikan terbang meninggalkan arena pertempuran. Rara Wulan sudah siap memburunya. Namun terdengar Glagah Putih mencegahnya, “Jangan, Rara.” “Aku akan dapat mengejarnya,” jawab Rara Wulan. “Ya. Tetapi kita memerlukan waktu yang lama. Keduanya memiliki ilmu meringankan tubuh yang baik. Pada saat kita dapat menyusul mereka, maka kita tentu sudah berada di tempat yang jauh sekali.” “Jadi menurut perhitungan Kakang, kita pasti akan dapat menyusul mereka?” “Menurut perhitunganku dapat, meskipun masih tergantung banyak hal yang mungkin kita hadapi.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Yang dikatakan oleh Glagah Putih itu meyakinkan dirinya, bahwa ia pun sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik. Setidak-tidaknya sama seperti Gagak Bergundung dan istrinya. “Tetapi Kakang, keduanya adalah orang yang sangat berbahaya. Mungkin pada suatu saat mereka akan kembali ke padepokan ini, justru pada saat kita sudah pergi.” “Ki Kumuda melihat apa yang terjadi. Ki Kumuda akan dapat melaporkannya kepada Ki Umbul Telu. Kemungkinan kembalinya Gagak Bergundung akan memacu para penghuni padepokan ini untuk semakin meningkatkan ilmu mereka, setidak-tidaknya para sesepuhnya.” “Kita akan berbicara dengan Ki Kumuda.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mendapatkan Ki Kumuda yang masih berdiri di tempatnya. Namun di wajahnya membayangkan hati yang kecewa. “Sayang, keduanya dapat melarikan diri,” desis Ki Kumuda. “Ya. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat baik. Mereka dapat lari seperti angin,” sahut Glagah Putih. “Apakah mereka tidak akan kembali?” bertanya Ki Kumuda. “Aku kira tidak dalam waktu dekat. Agaknya ada kesempatan bagi para sesepuh di padepokan ini untuk mempersiapkan diri.” “Tetapi sulit untuk mengimbangi ilmu mereka.” “Mungkin sendiri-sendiri, para sesepuh padepokan ini memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyusul kemampuan Gagak Bergundung. Tetapi bukankah para sesepuh di padepokan ini dapat bekerja sama untuk menghadapi mereka? Betapapun tinggi ilmu keduanya, namun mereka tidak akan dapat melawan para penghuni padepokan ini yang juga berilmu tinggi, dalam jumlah yang jauh lebih banyak.” Ki Kumuda mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita memberikan laporan kepada kakang Umbul Telu.” Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriring kembali ke bangunan utama padepokan yang berada di atas bukit itu. Laporan Ki Kumuda itu sempat membuat para sesepuh yang ikut mendengarnya menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak akan ingkar dari tanggung jawab mereka. Yang harus mereka lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang buruk itu, meskipun mereka pun yakin bahwa Gagak Bergundung tidak akan kembali dalam waktu dekat. Sementara itu, Gagak Bergundung suami istri yang menyadari bahwa mereka berdua tidak disusul oleh kedua lawan mereka, telah berhenti di pinggir jalan. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah berada di tempat yang jauh dari Perguruan Awang-Awang. “Kedua orang suami istri itu berilmu sangat tinggi,” desis Gagak Berundung, “mereka mampu mengimbangi ilmu kita berdua.” “Tidak,” sahut Nyi Gagak Bergundung, “sebenarnya aku ingin membinasakan perempuan yang sombong itu dengan ilmu pamungkasku. Tetapi Kakang telah mengajakku meninggalkan arena.“ “Justru aku ingin mencegahnya, Nyi. Jika kau mempergunakan ilmu andalanmu, maka perempuan itu pun akan melakukan hal yang sama. Aku pun tidak berniat untuk mempergunakan ilmu andalanku.” “Kakang meragukan kemampuanku, dan bahkan kemampuan Kakang sendiri.” “Bukan begitu. Tetapi menurut dugaanku, keduanya tentu juga memiliki Ilmu yang mereka andalkan. Nah, bukan aku tidak meyakini ilmu kita, tetepi seberapa tinggi ilmu pamungkas mereka? Jika ilmu mereka lebih tinggi atau setidak-tidaknya mengimbangi ilmu kita, maka dalam keadaan yang lemah, kita sulit akan mempertahankan diri. Seandainya kedua orang suami istri itu mengalami kesulitan sebagaimana kita alami dalam benturan ilmu andalan yang seimbang, namun masih ada Kumuda di arena itu. Ia akan dapat berbuat lebih jauh lagi terhadap kita berdua, yang menjadi lemah karena benturan ilmu andalan itu.” “Tetapi aku yakin, bahwa ilmuku akan menghancurkan perempuan itu.” “Yang aku ragukan, jika ilmu lawan-lawan kita mampu mengimbangi ilmu kita. Agaknya keduanya memiliki landasan ilmu yang sangat kokoh.” Nyi Gagak Bergundung menarik nafas panjang. Tetapi kemudian sambil mengangguk ia pun berkata, “Ya. Mungkin Kakang benar. Tenaga dalam perempuan itu sangat tinggi. Ketika ujung selendangnya menyentuh dadaku, rasa-rasanya nafasku menjadi pepat dan tersumbat. Sementara itu ujung pedangku masih belum mampu menyentuh pakaiannya. Agaknya perempuan itu juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.” “Ya. Agaknya kita belum dapat menjajagi kemampuan mereka yang sesungguhnya, meskipun kita sudah bertempur beberapa lama. Mereka mampu bergerak sangat cepat.” “Tetapi mereka tidak mengejar kita.” “Tentu ada perhitungan lain.” Keduanya pun kemudian terdiam. Sambil berjalan perlahan-lahan menyusuri tepi hutan, mereka masih merenungi kemampuan lawan-lawan mereka. Mereka pun tertegun ketika mereka melihat seekor kijang yang berlari kencang menerobos gerumbul-gerumbul perdu di bibir hutan. Namun kemudian menghilang di antara pepohonan. “Jika saja kita dapat bergerak selincah kijang,“ desis Nyi Gagak Bergundung. Namun kedua orang suami istri itu tidak pernah membayangkan bahwa lawan-lawan mereka yang masih terhitung muda itu pernah hidup sebagai sepasang kijang, pada saat mereka menjalani laku Tapa Ngidang. Dalam pada itu, Nyi Gagak Bergundung pun bertanya, “Sekarang apa yang akan kita lakukan?” “Kita kembali ke sarang kita lebih dahulu. Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.” “Apakah kita akan kembali ke padepokan itu?“ “Kita mempunyai banyak waktu. Kita tidak tergesa-gesa. Mungkin kita akan kembali kelak.” Nyi Gagak Bergundung mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka. Di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melibatkan diri dalam kesibukan sehari-hari. Bahkan Ki Umbul Telu yang berusaha menghubungi beberapa orang Demang telah mengajak Glagah Putih pula bersama para tetua di padepokan itu. Sementara Rara Wulan yang tinggal di padepokan, berusaha untuk memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi para penghuninya. Dengan demikian, maka para penghuni padepokan itu telah mendapatkan pengalaman-pengalaman baru bagi ilmu mereka. Ternyata usaha Ki Umbul Telu tidak sia-sia. Beberapa orang Demang menyambut dengan baik kesediaan Ki Umbul Telu untuk bekerja sama menjaga keamanan lalu-lintas di beberapa kademangan, untuk menghidupkan kembali kegiatan perdagangan di kademangan-kademangan itu. Kegiatan perdagangan itu akan memberikan arti pula bagi Perguruan Awang-Awang, yang ingin memperluas pemasaran hasil bumi dan hasil kerajinan tangan para penghuni padepokan itu. “Kami akan membantu memberikan latihan-latihan kanuragan kepada anak-anak muda di beberapa kademangan,” berkata Ki Umbul Telu kepada Ki Demang di Karang Panjang. “Bagus, Ki Umbul Telu. Kami akan sangat berterima kasih.“ “Meskipun tidak dengan serta-merta, tetapi kita akan dapat merancang waktu, kapan kita bergerak melawan para perampok itu,” berkata Ki Umbul Telu. “Ya. Rencana yang akan kita susun bersama.” “Sementara itu, kami akan minta setiap kademangan mengirimkan beberapa anak muda terpilih ke perguruan kami.” Ki Demang Karang Panjang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbicara dengan para Demang tetangga-tetangga kami. Jika mungkin, aku akan mengundang empat atau lima orang Demang. Akan lebih baik jika Ki Umbul Telu bersedia hadir pula.” “Tentu, Ki Demang,” sahut Ki Umbul Telu, “aku akan bersedia datang. Bukankah kita akan bekerja sama? Setelah kita mempunyai kekuatan yang memadai, maka kita akan berbicara dengan para pedagang yang selama ini hanya lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar, dengan memacu kuda mereka tanpa berpaling di pasar-pasar kita yang mereka lewati.” “Ya. Kita harus berusaha merubah keadaan itu. Dengan memberikan bantuan menyelenggarakan keamanan lingkungan, agaknya mereka akan mengindahkan daerah ini. Daerah ini mempunyai banyak bahan perdagangan yang dapat memberikan keuntungan bagi segala pihak,” sahut Ki Demang. Sebenarnyalah di tiga hari berikutnya, telah diselenggarakan pertemuan oleh beberapa orang Demang untuk menanggapi gagasan Ki Umbul Telu. “Jika Ki Umbul Telu bersedia membantu memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda kami, maka kami akan bersedia ikut dalam rencana ini,” berkata seorang Demang. “Tentu,” sahut Ki Umbul Telu, “kami bersedia menerima anak-anak muda dari setiap kademangan, asal mereka bersedia menjalani satu kehidupan yang sederhana di padepokan kami.” “Kami tentu akan membantu beban padepokan Ki Umbul Telu,” sahut seorang Demang. Demikianlah, maka para Demang dan Ki Umbul Telu itu sepakat untuk saling membantu. Para Demang akan mengirimkan sekitar sepuluh sampai dua puluh lima orang anak muda untuk berlatih di padepokan Ki Umbul Telu selama dua atau tiga bulan. Kemudian bergantian dengan anak-anak muda yang lain, sementara yang sudah berlatih di padepokan Ki Umbul Telu akan memberikan latihan kepada kawan-kawan mereka di kademangan. Para Demang itu merencanakan, dalam waktu setengah tahun, maka mereka sudah siap berhubungan dengan para pedagang. “Kita tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Ki Demang Karang Panjang, “tetapi dengan langkah yang pasti kita menyongsong hari esok. Syukur jika rencana waktu itu dapat diperpendek.” “Kita akan berbuat dengan bersungguh-sungguh dan dengan sebaik-baiknya,“ sahut Ki Umbul Telu. “Sedangkan para pedagang itu sendiri sudah mempunyai kelompok-kelompok tertentu. Mereka tentu juga sudah memiliki landasan kekuatan. Dengan bekerja bersama, kita berharap bahwa daerah ini akan dapat kita amankan, sehingga arus perdagangan tidak hanya sekedar lewat tanpa meninggalkan bekas apa-apa di lingkungan kita.” Dengan demikian, maka Ki Umbul Telu dan para Demang itu sudah membuat pijakan bersama untuk mengembalikan kesibukan perdagangan di daerah mereka masing-masing. Kerja sama di antara beberapa kademangan dan Perguruan Awang-Awang diharapkan akan dapat memecahkan masalah, meskipun tidak dengan serta-merta. Tetapi pijakan itu telah memberikan pengharapan bagi kesejahteraan hidup rakyat di beberapa kademangan serta di Perguruan Awang-Awang. Dengan demikian, maka keberadaan Perguruan Awang-Awang itu akan dapat memberikan arti yang sebenarnya bagi lingkungan di sekitarnya. Bukan sekedar satu kehidupan yang terpisah yang berada di sebuah perbukitan terpencil. Sehingga dengan demikian maka ilmu mereka pun dapat diamalkan dalam pengertian yang wajar. Sementara itu, selama Glagah Putih dan Rara Wulan berada di Perguruan Awang-Awang, maka mereka telah menemukan sebuah celah-celah di sebuah goa, yang agaknya tidak pernah disentuh bahkan oleh para penghuni padepokan itu. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah menyembunyikan peti kayunya yang manis berukiran lembut di celah-celah itu. “Bukankah celah-celah itu tidak basah?” bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih. “Tidak. Tetapi bagaimanapun juga, celah-celah itu tetap saja lembab.” “Aku akan membungkusnya dengan kain panjang.” “Kain panjang? Kau tidak sayang, bahwa selembar kain panjangmu akan kau susupkan di celah-celah itu?” “Untuk melindungi peti kecil itu. Kasihan peti itu jika akan segera menjadi lapuk.” Glagah Putih tidak menyahut. Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah membungkus peti kecil itu dengan sehelai kain, dan menyimpannya di celah-celah di dalam goa itu dan menyamarkannya dengan bongkah-bongkah batu padas. Ketika rencana Ki Umbul Telu mulai berjalan, maka bangunan utama padepokan itu menjadi bertambah ramai. Bahkan ada beberapa orang anak muda yang tinggal di rumah beberapa orang keluarga yang dapat menampungnya. Mereka adalah anak-anak dari beberapa kademangan di sekitar padepokan itu. Latihan-latihan segera dimulai pula. Anak-anak muda itu harus menjalani kehidupan yang penuh keterikatan pada tatanan, untuk menempa mereka menjadi orang-orang mampu mengendalikan diri. Sejak hari-hari pertama, mereka harus sudah bekerja keras, siang dan malam. Waktu-waktu beristirahat mereka terasa menjadi sangat sempit. Pada mulanya, anak-anak muda yang datang dari beberapa kademangan itu merasa sangat letih. Tetapi setelah mereka berada di padepokan itu sepekan, maka mereka mulai dapat menyesuaikan dirinya. Para murid dari Perguruan Awang-Awang yang memberikan latihan kepada mereka pun berpijak pada tatanan perguruan, sehingga terasa sangat keras bagi anak-anak muda itu. Tetapi karena mereka merasa mendapat beban dari para Demang mereka masing-masing, maka mereka pun berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya. Waktu yang hanya dua atau tiga bulan itu memang terlalu pendek untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi dengan tempaan yang keras, maka agaknya hasilnya kelak akan memadai. Mereka tidak hanya menghadapi kesatuan prajurit atau murid-murid dari perguruan yang sudah berilmu tinggi. Tetapi mereka akan menghadapi para perampok, yang sebagian besar tidak mendasari ilmunya dari perguruan yang manapun. Mereka hanya berlandaskan keberanian, kebengisan, dan kadang-kadang diwarnai dengan dendam atas peristiwa-peristiwa yang telah menimpa diri mereka dan keluarganya. Sebagian dari mereka melakukan pekerjaan yang keliru itu karena tekanan kehidupan yang terasa sangat menekan keluarganya, sehingga akhirnya mereka mencari jalan yang paling mudah, meskipun dengan kemungkinan yang terburuk dalam hidupnya Ketika segala sesuatunya sudah berjalan lancar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan padepokan itu, untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun sebelum keduanya minta diri, keduanya telah mendengar dari para tetua di padepokan itu, beberapa hal tentang dunia olah kanuragan yang mungkin akan dilewati oleh kedua orang suami istri itu. Dari beberapa orang yang dituakan di padepokan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar beberapa nama dan orang-orang berilmu tinggi yang berkeliaran di dunia olah kanuragan. “Nampaknya selama pengembaraan, Angger berdua tidak menyelam sampai ke dasar. Angger belum banyak mengenal nama-nama orang berilmu tinggi, baik yang berlandaskan ilmu yang mapan dan berkiblat kepada Kang Murbeing Dumadi, tetapi juga mereka yang berkiblat kepada kuasa kegelapan.” “Ya,” sahut Glagah Putih, “selama ini kami hanya menapaki permukaan.” “Ternyata bahwa dunia olah kanuragan tidak ubahnya seperti lebarnya rimba raya. Pepohonan raksasa tumbuh dimana-mana. Sedangkan di sela-selanya, gerumbul-gerumbul rerungkutan liar dengan tumbuh-tumbuhan merambat dan berduri. Sulur-sulur liar serta dahan-dahan yang rapuh berpatahan silang-melintang. Di dalamnya hidup berbagai jenis binatang buas, binatang berbisa, serta serangga-serangga yang dapat membunuh dengan sengatnya.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun menarik nafas panjang. Mereka sudah mempunyai cukup pengalaman dalam pengembaraan mereka. Tetapi ternyata bahwa banyak nama-nama yang masih belum mereka kenal. Beberapa tempat dan perguruan dari para penganut tuntunan yang berbeda, dan bahkan berlawanan. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun teringat kepada dua dunia yang dijumpainya di rumah tua yang semula mereka kenal dihuni oleh Ki Nawaskara. Dunia yang tenang tenteram dan damai. Tetapi di dunia itu pula mereka kemudian menjumpai kehidupan yang buas dan liar. Yang satu menghancurkan yang lain. Semuanya berbuat bagi kepentingan diri masing-masing. Tanpa pengendalian diri dan apalagi apa yang disebut pengorbanan bagi kepentingan sesama. “Tetapi bukan berarti bahwa seluruh permukaan bumi ini sudah menjadi tlatah kuasa kegelapan, Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “masih ada orang yang dapat dipercaya. Masih ada orang yang bersikap jujur. Karena itu, tidak sepatutnya jika Angger berdua kehilangan sama sekali kepercayaan kepada sesama.” “Ya. Ki Umbul Telu,” sahut Glagah Putih sambil mengangguk-angguk, “tetapi bukankah sulit sekali untuk memilahkan yang mana yang pantas dipercaya dan yang mana sebaliknya?” “Kau benar, Ngger. Mereka yang licik dan julig justru akan menampakkan diri sebagai seorang yang jujur dan baik hati. Tetapi dalam kesempatan yang mereka tunggu, maka mereka akan menerkam tengkuk dari belakang. Sementara itu, mereka yang sungguh-sungguh jujur dan berpijak pada kebenaran justru akan tersingkir, karena mereka akan selalu mengganggu langkah-langkah selingkuh di berbagai sisi kehidupan.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Sepanjang pengalaman mereka menjelajahi kehidupan yang beraneka, maka mereka membenarkan pesan-pesan Ki Umbul Telu itu. Ternyata Ki Umbul Telu bukan seorang yang hanya hidup di seputar dinding padepokannya saja. Tetapi agaknya Ki Umbul Telu dan para tetua dari Perguruan Awang-Awang juga memiliki wawasan kehidupan yang luas. Namun hampir di luar sadarnya ketika Glagah Putih itu pun bertanya, “Ki Umbul Telu. Ki Umbul Telu sudah menyebut banyak nama dari orang-orang yang bergerak di dunia olah kanuragan. Bahkan mereka yang berkiblat kepada kuasa terang maupun mereka yang berada di bawah kuasa kegelapan. Tetapi Ki Umbul Telu tidak menyebut seorang yang namanya justru mengumandang sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Siapa, Ngger?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah Ki Umbul Telu pernah mendengar nama sebuah perguruan besar yang kini sedang menyusun diri kembali?” “Perguruan apa, Ngger?” “Perguruan Kedung Jati, di bawah pimpinan seorang yang memiliki tongkat baja putih. Tongkat baja putih itu memang pertanda kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati. Bukankah di Perguruan Awang-Awang juga ada pertanda kepemimpinan, yang baru saja kembali ke perguruan ini setelah beberapa lama dibawa oleh murid-murid yang berkhianat itu?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Aku sudah mendengar, Ngger. Bahkan pada suatu saat, seolah-olah sepasang tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu sudah kembali ke perguruan. Tetapi ternyata tidak. Tongkat baja putih yang satu adalah palsu.” “Ya. Aku juga pernah mendengar.” “Bukankah tongkat baja putih yang sebuah berada di Tanah Perdikan Menoreh?“ Ki Lampita justru bertanya. “Ya. Demikian menurut pendengaranku. Satu dari sepasang tongkat baja putih itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Ngger,” berkata Ki Umbul Telu, “aku memang pernah mendengar kegiatan para murid Perguruan Kedung Jati, yang sudah terpecah dan bahkan tenggelam untuk beberapa lama sejak Jipang dikalahkan oleh Pajang. Namun sebenarnyalah aku ingin berterus-terang kepada Angger berdua. Aku tidak tahu apakah Angger terlibat dalam usaha menghimpun kembali para murid dari Perguruan Kedung Jati atau tidak.” “Kami tidak terkait dengan Perguruan Kedung Jati itu, Ki Umbul Telu. Aku berkata sebenarnya.” “Aku percaya, Ngger.“ Ki Umbul Telu itu terdiam sejenak. Lalu katanya, “Berapa waktu yang lalu, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu memang pernah menghubungi perguruan kami. Mereka menyatakan keinginan mereka agar kami bergabung dengan Perguruan Kedung Jati yang sedang menghimpun kekuatan. Tetapi kami mengatakan bahwa tidak seorangpun di antara kami yang pernah menjadi murid Perguruan Kedung Jati.” “Apakah kata mereka, Ki Umbul Telu?” “Menurut mereka, meskipun seseorang belum pernah menjadi keluarga Perguruan Kedung Jati, namun mereka akan dapat masuk dalam keluarga besar Perguruan Kedung Jati. Baru kemudian akan disusun kaitan serta tatanan kekeluargaan dari Perguruan Kedung Jati itu. Mereka yang sekarang berniat membangunkan kembali perguruan itu mengangankan kebesaran dan kejayaan perguruan itu, sebagaimana pada masa Jipang masih tegak. Meskipun satu dari sepasang tongkat baja putih itu belum berada di tangan mereka, namun mereka yakin bahwa pada saatnya tongkat itu akan mereka kuasai. Sehingga sepasang tongkat pertanda kebesaran itu akan dapat dijadikan perlambang kebersaran Perguruan Kedung Jati sebagaimana sebelumnya.” “Bagaimana tanggapan Ki Umbul Telu?” “Aku belum dapat mengambil sikap. Aku belum dapat membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami tidak hanya akan menjadi sekedar pengikut-pengikut yang kelak akan dienyahkan. Menurut pendengaran kami, yang sekarang berada di bawah pengaruh para pemimpin Perguruan Kedung Jati itu sudah cukup banyak. Tetapi dari bermacam-macam perguruan, gerombolan dan kelompok yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Ada di antara mereka para murid sebuah perguruan yang benar-benar ingin mengembangkan ilmu untuk diamalkan. Tetapi ada di antara mereka yang muncul dari sarang-sarang gerombolan penjahat yang kotor, yang akan menumpang kegiatan mereka yang berniat menegakkan kembali panji-panji Perguruan Kedung Jati itu. Dengan demikian, mereka yang berniat membangun kembali perguruan itu bekerja sama dengan kepentingan yang berbeda dengan gerombolan-gerombolan penjahat itu.” “Apakah mereka akan menghubungi Ki Umbul Telu lagi?” “Agaknya demikian. Tetapi aku tidak tahu, kapan dan kebenaran dari keterangannya itu. Namun mereka sempat meninggalkan ancaman, bahwa siapapun yang berusaha menghalangi bangkitnya Perguruan Kedung Jati akan dibabat, dan bahkan akan digali sampai ke akarnya sehingga tidak akan mungkin bangkit kembali. Menurut mereka yang datang, sampai saat ini Perguruan Kedung Jati itu telah mampu menghimpun kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan pasukan prajurit di Demak. Sebentar lagi, maka Perguruan Kedung Jati akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram.” “Ki Umbul Telu percaya?” “Ngger. Aku percaya bahwa mereka mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi tentu tidak akan dapat menandingi kekuatan prajurit Mataram. Meskipun demikian, dengan cara yang mereka tempuh, tampil dan kemudian menghilang, maka mereka pada suatu saat memang akan dapat merepotkan Mataram.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapakah menurut pendengaran Ki Umbul Telu, orang yang memimpin perguruan yang sedang berusaha bangkit itu?” “Pemimpin yang menguasai tongkat baja itu adalah Ki Saba Lintang. Tetapi ia mempunyai beberapa orang pendukung yang dapat diandalkan. Ki Saba Lintang bukanlah seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ada dua atau tiga orang yang ilmunya dapat diandalkan, sebagaimana Gagak Bergundung suami istri.” “Bagaimana dengan Gagak Bergundung?” Ki Umbul Telu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Angger dalam hubungannya dengan Perguruan Kedung Jati?” “Ya.” “Aku tidak tahu, Ngger, apakah Gagak Bergundung itu akan menjadi salah seorang di antara para pendukung Perguruan Kedung Jati yang sedang menyusun diri itu. Tetapi jika benar ia akan berada di antara mereka yang berniat menyusun kembali Perguruan Kedung Jati, maka ia tidak akan memusuhi kami, karena Perguruan Kedung Jati pun berniat untuk menyeret kami ke dalam lingkungan mereka.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan apa-apa lagi tentang Perguruan Kedung Jati itu. Ia tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil oleh Ki Umbul Telu terhadap tawaran Perguruan Kedung Jati untuk bergabung ke dalamnya. Bahkan Glagah Putih pun kemudian telah mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana pendapat Ki Kumuda dengan bualan Gagak Bergundung?” “Maksud Angger?” “Tentang goloknya yang besar itu. Apakah benar golok itu golok Kiai Pupus Kendali? Sebelumnya ia mengatakan bahwa golok itu adalah pusaka turun temurun. Namun sejak semula aku sudah menduga bahwa ia hanya sekedar membual.” “Gagak Bergundung memang menyebut golok itu bernama Kiai Naga Padma.” “Tetapi bukankah Kiai Naga Padma sudah dibuat beratus tahun yang lalu?” “Menurut bualannya, ayahnya-lah yang telah mengambil alih golok itu dari Kiai Pupus Kendali. Jika demikian, bukankah kakeknya tidak atau belum pernah mempergunakannya?” Ki Umbul Telu-lah yang menyahut, “Gagak Bergundung memang seorang pembual. Tetapi mungkin saja ayahnya telah mencuri golok itu semasa kakeknya masih hidup. Apakah Kiai Pupus Kendali itu terbunuh atau tidak, tidak ada beritanya sama sekali. Tetapi sudah lama sekali nama Kiai Pupus Kendali tidak pernah disebut lagi.” “Ki Umbul Telu,“ bertanya Glagah Putih kemudian, “apakah Ki Umbul Telu mengetahui, dimanakah letak padepokannya?” “Angger akan mencarinya?” “Kami adalah pengembara. Apakah salahnya jika kami berusaha melacak beberapa nama dari orang-orang yang memiliki kelebihan, namun yang sudah tidak pernah disebut lagi namanya?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Kami pun baru mendengar namanya saja. Kiai Pupus Kendali adalah seseorang yang berilmu tinggi, seangkatan dengan guruku. Bahkan mungkin umurnya lebih tua.” “Jika guru Ki Umbul Telu tidak dikhianati, bukankah ia masih ada sekarang ini?” Ki Umbul Telu menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Tetapi guru sudah tua. Kau lihat, bahwa kami pun sudah setua ini. Sudah pantas menjadi ayahmu.” “Kami akan mencoba melacak keberadaan Kiai Pupus Kendali itu, Ki Umbul Telu. Kami pun ingin membuktikan, apakah Gagak Bergundung tidak membual tentang golok Kiai Naga Padma itu, yang juga dikatakannya pusaka turun temurun.” “Tentu ada yang sisip pada bualannya itu, Ngger. Tetapi jika kau benar-benar ingin meyakinkan kebenaran tentang Kiai Pupus Kendali, aku hanya dapat memberi ancar-ancar. Kiai Pupus Kendali bukan seorang yang berilmu tinggi yang mendirikan sebuah perguruan. Tetapi Kiai Pupus Kendali adalah seorang pertapa, yang hanya diikuti oleh tiga atau empat orang murid utamanya. Itu pun hanya menurut pendengaran kami.” “Baiklah, Ki Umbul Telu. Agaknya kami benar-benar ingin melacaknya. Apakah aku dapat menemui atau tidak, biarlah kesempatan yang menentukan. Tetapi ancar-ancar Ki Umbul Telu sangat kami perlukan.” “Ngger. Segalanya hanyalah menurut pendengaran kami. Kami tidak berani memastikan kebenarannya.” “Kami mengerti, Ki Umbul Telu.” “Kiai Pupus Kendali berada di sebuah pertapaan yang terasing di kaki gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara. Menurut kata orang, pertapaannya sudah berada di daerah yang sangat dingin. Dengan demikian, maka pertapaan itu tentu berada di tempat yang agak tinggi.“ “Terima kasih, Ki Umbul Telu. Dari bukit ini, kami akan menuju Gunung Sumbing.” “Kapan Angger akan berangkat?” “Kami sepakat akan melanjutkan pengembaraan kami esok pagi.” “Esok pagi? Begitu cepat?” “Bukankah kami sudah cukup lama di padepokan ini? Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami akan dapat singgah di padepokan ini.” “Berhati-hatilah, Ngger. Kami tahu bahwa Angger berdua ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga Angger berdua mampu mengalahkan Gagak Bergundung. Meskipun demikian, Angger akan memasuki belantara yang buas, liar dan penuh menyimpan bahaya. Yang kasat mata maupun yang tidak.” Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Keduanya sudah memiliki pengalaman yang cukup luas. Namun agaknya mereka belum menukik ke dalam rimba olah kanuragan yang buas dan liar itu. “Ki Umbul Telu,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Umbul Telu terhadap pengembaraan kami. Kami akan berhati-hati di perjalanan. Pengenalan kami atas beberapa nama akan sangat membantu perjalanan kami. Ciri-ciri unsur gerak yang Ki Umbul Telu beritahukan kepada kami dari beberapa orang di antara mereka, memberikan gambaran kepada kami, dunia seperti apakah yang akan dapat kami lewati.” “Baiklah, Ngger. Jika pada suatu saat Angger merasa jemu menempuh perjalanan dalam pengembaraan Angger, datanglah kembali ke padepokan kami.” “Terima kasih, Ki Umbul Telu.” Ternyata keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu telah memberikan bekal yang cukup banyak bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka pun dapat membayangkan, bahwa mereka memang akan ngambah hutan yang dipenuhi duri bebandotan serta rawa-rawa lumpur yang kental, yang dihuni oleh buaya-buaya yang buas serta ular-ular air yang berbisa. Ketika kemudian malam turun, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di bilik yang disediakan bagi mereka berdua, telah membuka-buka kembali kitab yang diberikan oleh Kiai Namaskara dengan cara yang aneh itu. Beberapa petunjuk mereka tekuni untuk menambah kematangan diri yang sudah mereka warisi. Meskipun mereka memasuki bilik mereka agak awal, namun hampir semalam suntuk mereka tidak tidur. Baru di dini hari keduanya sempat memejamkan mata beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, keduanya telah siap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Namun Ki Umbul Telu masih menahan mereka. Ki Umbul Telu mempersilahkan kaduanya untuk minum minuman hangat serta makan pagi lebih dahulu sebelum mereka melanjutkan perjalanan. “Kalian akan menempuh perjalanan yang berat di medan yang berat pula. Karena itu, sebaiknya kalian makan pagi lebih dahulu. Meskipun barangkali kalian akan melewati beberapa padukuhan yang cukup besar, tetapi pada umumnya pasar yang ada di padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi, sehingga jarang ada kedai yang masih membuka usahanya.“ Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Baru setelah mereka makan pagi serta beristirahat sebentar, maka mereka pun minta diri. Tidak hanya keempat orang tetua dari Perguruan Awang-Awang itu saja yang melepas kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi beberapa orang penghuni padukuhan serta para cantrik telah ikut melepas mereka pula di pintu gerbang. “Terima kasih,” berkata Glagah Putih dan Rara Wulan ketika mereka meninggalkan pintu gerbang. “Kami menunggu kalian datang kembali,” berkata Ki Umbul Telu. “Kami akan berusaha untuk kembali lagi,” sahut Glagah Putih. Demikianlah, keduanya pun meninggalkan padepokan di atas bukit itu. Beberapa lamanya mereka menuruni lereng yang rendah, sehingga akhirnya mereka pun sampai di sebuah dataran yang subur, yang mendapat air dari bukit kecil yang masih menyimpan kelompok-kelompok pepohonan raksasa, yang untuk melindunginya, pepohonan itu telah dikeramatkan, sehingga tidak seorangpun yang mengusiknya. Ketika matahari mulai naik, maka dedaunan yang basah nampak berkilat-kilat memantulkan cahayanya. Beberapa titik embun masih hinggap di dedaunan itu. Burung-burung liar yang hinggap di pepohonan terdengar bersiul gembira menyambut kehadiran hari yang baru. Panas matahari yang mulai menggatalkan kulit mengiringi perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Beberapa ratus langkah di hadapan mereka, nampak sebuah padukuhan yang memanjang, seakan-akan memotong jalan yang akan dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. “Ketika Kakang dan Ki Umbul Telu berbicara tentang rencana untuk membangunkan keberanian anak-anak mudanya, apakah Kakang juga singgah di padukuhan itu?” “Kami hanya menemui para Demang, Rara. Kademangan yang membawahi padukuhan itu-lah yang mengaturnya. Tetapi padukuhan itu tentu sudah terlibat pula untuk mengirimkan dua atau tiga anak mudanya.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian, jika kita nanti berjalan melalui jalan itu, Kakang tentu belum dikenal oleh para penghuninya.” “Tentu belum.” Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya, karena perjalanan kita tidak akan terganggu.” Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jika mereka belum mengenal kita, bukan berarti bahwa tidak akan ada yang menyapa kita.” “Jika seorang menyapa kita, maka kita cukup menjawab satu dua patah kata. Kita tidak akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu sapaan mereka.” Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak mau diusik sama sekali.” “Ya,” Rara Wulan pun mengangguk. Ketika kemudian mereka berjalan di tengah-tengah bulak panjang, maka mereka sempat menebak-nebak jenis padi yang sedang tumbuh dengan suburnya. Nampaknya air yang mengalir di parit yang memanjang menyilang jalan bulak itu tidak pernah kering di segala musim. “Arah parit ini tentu mengalir dari bukit itu,” berkata Rara Wulan. “Ya, para pemimpin di padepokan itu mempunyai cara tersendiri untuk menyelamatkan hutan di pebukitan mereka,” sahut Glagah Putih. Demikianlah mereka berjalan di kesegaran udara pagi hari. Ketika mereka memasuki padukuhan yang memanjang dan terhitung besar di ujung bulak, maka padukuhan itu terasa sudah sibuk menapaki hari baru. Beberapa orang masih belum selesai menyapu halaman yang pada umumnya cukup luas. Seorang perempuan membawa kelenting di lambungnya untuk mengisi gentong yang diletakkannya di sebelah pintu regol halaman rumahnya, yang disediakannya bagi para pejalan kaki yang kehausan. Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan pula dengan beberapa orang anak yang menggiring kambing mereka ke padang rumput untuk digembalakan. Seorang yang sudah setengah baya memanggul bajaknya menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara anaknya yang sedikit lewat remaja menggiring dua ekor lembu di belakangnya. “Padukuhan ini nampak sibuk,” berkata Rara Wulan. “Ya. Agaknya penghuni padukuhan ini adalah orang-orang yang terbiasa bekerja keras.” Rara Wulan mengangguk. Katanya kemudian, “Kakang dengar suara orang menumbuk padi?” “Ya. Padukuhan ini benar-benar diramaikan dengan kerja keras oleh penghuninya.” Di sebelah simpang empat, keduanya terhenti sesaat. Seorang ibu muda sedang sibuk menyuapi anaknya yang menangis sambil meronta-ronta. “Anak itu belum lapar,” desis Glagah Putih. “Bukankah terbiasa seorang ibu menyuapi anaknya dengan paksa, agar anak itu menjadi kenyang dan segera tidur? Sementara itu ibunya dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Mencuci pakaian atau masak di dapur.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berdesis, “Nasi dengan gula kelapa.” “Ya. Nasi dengan gula kelapa yang dilumatkan dengan sedikit air yang sudah masak.” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, mereka telah berada di tengah-tengah padukuhan. Beberapa orang yang nampaknya juga hanya sekedar lewat di padukuhan itu, berjalan dengan cepat melintas. Ada yang berjalan searah, tetapi ada juga yang berlawanan arah. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka tidak seorangpun yang mengenalnya. Baik mereka yang tinggal di padukuhan itu maupun orang-orang yang lewat. Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak terhambat. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memasuki lagi sebuah bulak yang panjang di sebuah ngarai yang datar dan luas. Mereka melewati jalan yang termasuk jalan yang lebar. Tetapi agaknya jalan itu tidak terlalu ramai. Yang melewati jalan itu hanyalah orang-orang padukuhan yang pergi ke sawah, atau orang orang-orang yang bepergian dari satu padukuhan ke padukuhan lain yang tidak terlalu jauh. “Jalan ini tentu kepanjangan jalan yang tidak aman itu,” berkata Rara Wulan. “Ya,” sahut Glagah Putih, “tetapi jika beberapa kademangan bersama-sama Perguruan Awang-Awang itu sudah benar-benar bangkit, maka jalan ini akan menjadi ramai kembali. Para pedagang tidak merasa perlu untuk menunggu-nunggu yang satu dengan yang lain agar mereka dapat melintasi jalan ini dalam kelompok-kelompok yang besar. Bahkan para pedagang yang dapat mengupah satu atau dua orang pengawal. Jika jalan ini menjadi aman, maka pedagang-pedagang sedang dan pedagang kecil pun akan berani melintasi meski seorang diri.” Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik kulit mereka. Sementara itu nampak beberapa orang petani sedang sibuk bekerja di sawah. Tidak ada yang menghambat perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ketika matahari mencapai puncak langit, mereka telah berada di sebuah padukuhan yang terhitung besar. Ada sebuah pasar di padukuhan itu. Tetapi pasar itu nampaknya sepi-sepi saja. Bukan karena hari sudah menjadi semakin siang, tetapi nampaknya sejak pagi pasar itu tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Bahkan beberapa kedai di depan pasar itu pun tidak lagi dibuka, karena jarang orang yang datang untuk makan dan minum. Yang terbiasa datang ke pasar itu hanyalah orang-orang yang tinggal di padukuhan itu atau padukuhan sekitarnya saja, sehingga mereka tidak perlu singgah di kedai yang ada di depan pasar itu. Namun di pasar itu, ada juga yang menjual nasi. Nasi tumpang, berdekatan dengan penjual dawet cendol. Dibentangkannya sehelai tikar pandan yang tidak terlalu lebar, yang warnanya kekuning-kuningan serta sudah koyak di sudutnya. “Kita berhenti sebentar, Rara,” desis Glagah Putih. “Untuk apa?” “Ada dawet cendol dan nasi tumpang.” “Apa Kakang sudah lapar?” “Aku sudah mulai haus, meskipun belum lapar. Tetapi kita akan dapat berbincang-bincang dengan penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu.“ Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk. “Kita dapat duduk di tikar itu.” “Siapa yang membentangkan tikar itu? Penjual nasi atau penjual dawet?” “Siapapun yang membentangkan. Kita akan membeli nasi dan dawet.” Keduanya pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka pun duduk di atas tikar yang dibentangkan di bawah sebatang pohon waru yang rimbun. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memesan nasi tumpang dan dawet cendol yang segar. “Pasar ini nampak sepi sekali?“ bertanya Rara Wulan. “Tadi pagi pasar ini sedikit ramai,“ jawab penjual nasi tumpang. “Ketika matahari naik, pasar ini pun menjadi sepi.” “Apakah biasanya pasar ini juga sepi?” “Hari ini sebenarnya hari pasaran. Karena itu, tadi pagi pasar ini menjadi agak ramai. Meskipun demikian, pasar ini masih saja terlalu sepi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.“ “Kenapa?“ “Lingkungan ini memang menjadi sepi. Para pedagang dari jauh tidak lagi mau singgah, karena pasar ini semakin terasa tidak aman.” “Sekarang masih juga tidak aman?” “Ya, sekarang.“ “Sejak beberapa waktu yang lalu,“ sahut penjual dawet. “Kenapa?” bertanya Glagah Putih. “Apakah kalian berdua bukan penghuni daerah ini?” “Kami hanya lewat saja, Ki Sanak.“ Penjual dawet itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putih mengacungkan mangkuknya yang telah kosong, “Lagi, Ki sanak. Aku haus sekali.“ Penjual dawet itu menerima mangkuk dari tangan Glagah Putih dan mengisinya lagi. “Nyai juga?” bertanya penjual dawet itu. “Tidak. Sudah cukup,“ jawab Rara Wulan. Glagah Putih menghirup dawet cendolnya. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah sering ada orang-orang jahat yang datang kemari?” “Sasaran mereka adalah para pedagang yang lewat. Tetapi mereka biasanya lewat berkelompok, sehingga mereka mampu memberikan perlawanan. Kadang-kadang para pedagang itu berhasil menyelamatkan dagangan mereka. Tetapi kadang-kadang ada juga yang terpaksa harus ketinggalan, jika para penyamun itu menghadang mereka. Meskipun para pedagang itu sendiri mampu menghindar, tetapi sering terjadi beberapa bungkus dagangan mereka terjatuh atau tertinggal atau karena apapun, namun barang-barang itu akhirnya jatuh juga di tangan para perampok. Tetapi para perampok itu pun kadang-kadang harus mengorbankan satu dua orang kawan mereka yang terbunuh oleh para pedagang dan orang-orang upahan yang melindungi mereka.” “Apakah ada juga pedagang atau orang-orang upahannya yang menjadi korban?“ “Ya. Pernah juga terjadi. Tetapi biasanya kawan-kawannya berusaha membawa tubuh korban itu. Jika tubuh itu tertinggal, maka tubuh itu akan mengalami perlakuan yang buruk sekali, meskipun orang itu sudah mati.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara itu, penjual nasi tumpang itu pun berkata, “Kemarin ada sekelompok pedagang yang lewat. Pertempuran terjadi dengan para penyamun. Tetapi para pedagang itu berhasil lolos.” “Pertempuran itu terjadi di pasar ini?” “Tidak,“ sahut penjual dawet, “pertempuran itu terjadi di bulak sebelah. Bahkan seorang perampok terbunuh. Beberapa yang lain terluka. Karena itu, maka perampok itu menjadi sangat mendendam.” Namun permbicaraan mereka pun terputus. Mereka melihat beberapa orang yang berwajah garang datang dan berkerumun di depan pintu gerbang pasar. “Siapa mereka?” “Jangan memperhatikan mereka. Jika kalian berbuat wajar-wajar saja, mereka tidak akan menghiraukannya,” desis penjual dawet itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beringsut. Mereka berpura-pura tidak menghiraukan lagi, beberapa orang yang berkumpul di depan pintu gerbang itu. “Siapa mereka itu?” Glagah Putih bertanya sekali lagi. Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak mengenal mereka dengan pasti, tetapi mereka tentu sebagian dari para perampok itu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Menilik sikap, pakaian serta wajah-wajah mereka, maka mereka adalah orang-orang yang garang, menakutkan dan bengis. “Apa yang mereka bawa dalam karung itu?“ bertanya Glagah Putih pula. Penjual dawet itu menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak tahu. Biasanya mereka merampas karung-karung seperti itu dari para pedagang yang lewat.” Glagah Putih dan Rara Wulan terdiam. Di tangan mereka masih terdapat sepincuk nasi tumpang yang masih belum mereka habiskan. Kehadiran orang-orang itu telah membuat Glagah Putih dan Rara Wulan lambat menyuapi mulut mereka. “Jika sempat, menyingkir sajalah,“ tiba-tiba saja penjual dawet itu berdesis. “Kenapa?“ “Kau orang asing di sini. Jika terjadi sesuatu, kau dapat menjadi korban.” “Bagaimana dengan Ki Sanak dan bibi penjual nasi itu?” “Setiap hari kami berada di sini. Tidak ada masalah bagi kami.” “Jika aku pergi, mereka tentu akan menjadi curiga.” “Jangan lewat pintu gerbang itu, tetapi lewat pintu butulan, di sebelah gubug bekas tempat pande besi itu menempa.” “Bekas? Jadi mereka tidak bekerja di gubug-gubug itu sekarang?” “Tidak. Para perampok itu melarang mereka membuat alat-alat pertanian, yang katanya akan dapat dipergunakan sebagai senjata.” “Tetapi sebaiknya duduk sajalah di situ,” berkata penjual nasi tumpang. “Jika kalian pergi, memang akan dapat menarik perhatian mereka. Tidak terlalu banyak orang di sini, sehingga satu atau dua orang di antara mereka akan melihat jika kedua orang ini bangkit dan pergi meninggalkan tempat ini.” Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling sekilas memandang sekelompok orang yang berkerumun di pintu gerbang itu. Katanya, “Ya. Sebaiknya kalian di sini saja.“ Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian memutuskan untuk duduk saja di tikar, sambil makan nasi tumpang serta menghirup dawet cendol yang segar. Sementara itu, beberapa orang masih saja berkerumun di depan pintu gerbang pasar. Mereka meletakkan tiga buah karung yang penuh terisi di sebelah pintu gerbang pasar itu. Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak ingin meninggalkan pasar itu. Mereka ingin melihat, apa yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang berkerumun di depan pintu pasar itu. Beberapa orang yang masih berkerumun di pasar itu pun telah meninggalkan pasar. Satu dua orang yang berjualan justru berpura-pura tidak melihat apa-apa, sebagaimana penjual nasi tumpang dan penjual dawet itu. Mereka melakukan pekerjaan mereka dengan wajar-wajar saja tanpa memperhatikan orang-orang yang berkumpul di depan pintu pasar itu. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang masih ada di pasar itu menjadi berdebar-debar mendengar derap kaki kuda yang semakin lama semakin dekat. “Agaknya mereka sudah mencium berita bahwa akan ada sekelompok pedagang lewat,” desis penjual dawet itu. “Mereka akan mencegatnya?“ bertanya Rara Wulan. “Mungkin. Tetapi biasanya mereka tidak melakukannya di sini, tetapi di bulak sebelah.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat kedua orang penjual nasi dan dawet itu menjadi tegang. Tetapi sebenarnyalah Glagah Putih sendiri dan Rara Wulan juga menjadi berdebar-debar. Ketika suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat, maka seorang di antara orang-orang yang berkumpul di pintu gerbang pasar itu melangkah ke tengah jalan sambil bersuit nyaring. Sejenak kemudian, sekelompok orang berkuda telah berhenti pula di depan pasar. Seorang di antara mereka bergeser ke depan sambil mengangkat tangan kanannya. “Delapan hasta dari utara,” berkata orang itu. Orang yang berdiri di tengah jalan itu pun menyaut, “Tujuh langkah dari selatan.” Orang yang duduk di punggung kuda itu bergerak beberapa langkah lagi mendekati orang yang berdiri di tengah jalan. “Lihat, apa yang kau bawa?” “Tujukkan dahulu mutiaramu itu,“ jawab orang yang berdiri di tengah jalan. Orang yang berkuda itu memberikan isyarat kepada seorang kawannya, yang bergeser mendekatinya sambil membawa sebuah peti kayu yang tidak begitu besar. Ketika peti itu dibuka, maka dua orang yang sejak semula nampaknya memang sedang menunggu di depan pasar itu mendekat. “Lihatlah,“ berkata orang yang berdiri di tengah jalan, “kau yang tahu benar tentang candu.” Kedua orang kawannya pun mendekat. Seorang di antara mereka menerima peti itu dan memperhatikan isinya dengan seksama. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi terkejut karenanya. Agaknya di pasar itu telah terjadi jual beli barang terlarang. Candu. Ternyata ada pula sekelompok orang berkuda yang lewat di jalan yang tidak aman itu, sekelompok orang yang tidak kalah jahatnya dengan para perampok dan penyamun yang sering mengganggu perjalanan para pedagang. Orang-orang berkuda yang nampaknya juga sekelompok pedagang yang lewat, ternyata adalah sekelompok orang yang berdagang barang-barang terlarang. Kedua orang yang menilai candu yang ada di dalam peti itu mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, “Ya. Barangnya sesuai dengan pembicaraan.” “Nah,” berkata orang berkuda, “sekarang bawa kemari barang-barangmu.” Orang yang berdiri di tengah jalan dan menghentikan sekelompok orang berkuda itu memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk membawa tiga buah karung itu mendekat. Orang berkuda itu pun kemudian meloncat turun. Dua orang kawanyannya pun meloncat turun pula. Meskipun mereka sedang melakukan pertukaran barang dengan orang-orang yang menunggu di depan pasar itu, namun agaknya kedua belah pihak nampak tetap bersiaga. Kedua belah pihak agaknya tidak dapat saling mempercayai begitu saja. Setelah melihat-lihat isi karung itu, maka orang berkuda itu pun bertanya, “Kalian dapat dari mana barang-barang ini?” “Kami adalah sekelompok perampok dan penyamun. Kami dapatkan barang-barang itu dengan cara kami.” “Baiklah. Kami akan membawanya. Tetapi kami tidak akan segera dapat menguangkannya. Kami harus meneliti bahwa barang-barang ini tidak akan menjebak kami.” “Terserah saja kepadamu. Persoalan di antara kita sudah selesai. Jika pada kesempatan lain kalian lewat dengan membawa barang-barang berharga atau sejenis mutiara itu, mungkin kami-lah yang akan merampokmu.” “Tetapi mungkin pula kami-lah yang akan membinasakan kalian.” “Persetan dengan kesombonganmu.“ Orang berkuda itu tidak menjawab. Diperintahkannya orang-orangnya untuk membawa karung-karung itu di punggung kuda. “Jika kami memerlukannya lagi, dengan siapa kami harus berhubungan?” “Kau akan menghubungi kami?” “Ya.” “Bagaimana dengan perantara itu?” “Aku sudah membunuhnya. Ia telah mengkhianati kami. Untunglah kami segera mengetahui. Jika kami terlambat, maka pertukaran hari ini tentu tidak akan terjadi.” “Aku tidak berkeberatan. Kau sudah tahu, kemana perantaramu itu harus pergi. Tetapi kami-lah yang akan menentukan kapan kami membutuhkannya.” “Baiklah. Hampir setiap pasaran kami berada di pasar Seca. Setelah kami melewati jalan-jalan yang berbahaya, maka kami akan menyatukan diri dengan orang-orang lain.” “Apakah sekelompok pedagang yang sering lewat di jalan ini juga kelompok yang sekarang berada di sini?” “Ternyata kau sangat dungu. Tentu bukan. Yang datang bersamaku sekarang adalah mereka yang bersedia bekerja sama bersamaku, khususnya dalam perdagangan mutiara itu. Tidak seorangpun dari kawan-kawan pedagang yang mengetahui, bahwa aku berdagang candu. Tidak seorangpun dari mereka yang pantas dipercaya.“ Namun orang itu pun kemudian memandang berkeliling dan berkata, “Bagaimana dengan seisi pasar ini?” Tetapi orang yang agaknya pemimpin dari mereka yang berkumpul di depan pasar itu pun tertawa. Katanya, “Tidak seorangpun yang akan berani mengkhianati kami di pasar ini. Jika itu terjadi, maka kami akan membuat pasar ini menjadi debu dan membaurkannya ke sungai yang sedang banjir. Kami berkuasa di sini untuk berbuat apa saja sekehendak kami.“ Orang yang membawa candu itu mengangguk-angguk. Namun sejenak orang itu pun berkata, “Baiklah. Kami akan pergi. Jika kalian dapat dipercaya, maka hubungan di antara kita ini dapat berlanjut.“ “Aku pun akan menilai apakah kau tidak berkhianat.“ Orang yang membawa candu itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian, orang-orang berkuda itu pun telah meninggalkan pasar yang sepi itu, justru menuju ke arah dari mana mereka datang. Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Gagah Putih pun kemudian segera membayar harga nasi tumpang dan dawet cendol itu. “Mereka telah pergi. Bukankah aku pun dapat pergi?” desis Glagah Putih. “Tetapi mereka masih berada di situ.” “Baiklah. Kami akan menunggu di sebelah regol pasar. Bukankah di dekat regol itu ada orang berjualan mentimun? Agaknya masih ada beberapa buah ketimun yang belum laku.“ “Hati-hatilah,” desis penjual nasi tumpang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun mereka pun kemudian bangkit dan berjalan menuju ke regol. “Kita tidak dapat berbuat apa-apa di sini,” desis Glagah Putih. “Kita dapat merampas candu itu dan memusnahkannya.” “Tetapi akibatnya akan buruk sekali bagi orang-orang sepasar. Bahkan untuk selanjutnya pasar ini akan mati. Tidak seorangpun yang akan berani lagi pergi ke pasar ini.“ “Lalu, apa yang harus kita lakukan?“ “Jika mereka pergi, kita akan mengikuti mereka. Kita memang tidak dapat membiarkan candu itu jatuh ke tangan orang banyak.“ Rara Wulan agaknya dapat mengerti. Jika mereka harus berbuat sesuatu, maka mereka tidak akan mengorbankan orang-orang yang berada di pasar itu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika orang-orang yang semula berkumpul di depan pasar itu pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun keluar pula dari pasar itu. Mereka akan mengikuti sekelompok orang yang membawa candu itu, tetapi tanpa ada kesan bahwa keduanya keluar dari dalam pasar. Karena itu, maka untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan hanya memperhatikan arah perjalanan mereka. Ketika di kejauhan mereka berbelok ke kiri, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun baru melangkah meninggalkan pasar itu. Namun dengan cepat keduanya melangkah menyusul perjalanan sekelompok orang yang membawa candu itu. Di jalan simpang, mereka masih melihat sekelompok orang itu berbelok ke kanan. “Sekarang kita akan menyusul mereka.” Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan cepat melintasi jalan yang dilalui oleh sekelompok orang yang membawa candu itu. Mereka pun kemudian berbelok ke kanan. Memasuki sebuah bulak panjang itu, mereka telah berhasil menyusul sekelompok orang yang membawa peti candu itu. “Sekitar sepuluh orang,” berkata Glagah Putih. “Ya. Kita tidak tahu tataran kemampuan mereka. Apakah kita harus berusaha menghentikan perlawanan mereka secepatnya?” “Ya,“ jawab Glagah Putih, “kita tidak ingin terjebak dalam putaran kekuatan yang tidak terlawan.“ Rara Wulan mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun sudah mulai mengambil sikap. Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang dikenakan kemudian adalah pakaian khususnya. Namun Glagah Putih masih berdesis, “Jangan sebut candu, Rara.” “Kenapa?” “Mereka akan dapat menganggap orang-orang yang berada di pasar itu-lah yang berkhianat, dengan membuka rahasia candu itu kepada kita.“ “Baiklah, Kakang. Kakang sajalah yang berbicara dengan mereka.” Glagah Putih menganguk. Namun sebelum keduanya menghentikan orang-orang yang membawa peti berisi candu itu, pemimpin mereka telah memerintahkan mereka untuk berhenti. “Agaknya dua orang itu sengaja mengikuti kita,” berkata pemimpin sekelompok orang itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadarinya. Karena itu, maka Glagah Putih pun berhenti pula beberapa langkah dari mereka. “Apakah kalian berdua sengaja mengikuti kami?“ bertanya pemimpin kelompok itu. “Ya,“ jawab Glagah Putih. “Siapa kalian, dan apakah maksud kalian?” “Kalian tentu gerombolan perampok yang dipimpin oleh Kasan Barong.” “Siapa? “Kasan Barong.” Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian pemimpinnya itu pun menjawab, “Aku tidak mengenal orang yang bernama Kasan Barong. Bahkan namanya pun aku belum pernah mendengarnya.” “Jadi siapakah yang memimpin kelompok ini?” “Aku. Namaku Jati Ngarang.” “Bohong,“ jawab Glagah Putih sambil tertawa. Suara tertawanya bagaikan mengguncang bulak panjang itu. Bahkan jantung Rara Wulan pun telah tergetar pula mendengar suara tertawa Glagah Putih itu. Di antara derai tertawanya Glagah Putih pun berkata, “Ternyata Kasan Barong adalah seorang pengecut. Kenapa kau mengelak, ketika kau sudah bertemu dengan aku sekarang ini?” “Kau siapa?” “Namaku Lemah Bengkah. Perempuan ini adalah istriku. Nah, sekarang kau tahu, dengan siapa kau berhadapan. Kau pun tentu tahu, persoalan apa yang ada di antara kita.” “Persoalan apa?” “Jangan ingkar,” geram Glagah Putih, “kau curi kitab yang berisi ilmu kanuragan, yang disebut Kitab Mega Mendung. Nah, aku datang mengemban perintah Guru untuk mengambil kitab itu.” Wajah pemimpin sekelompok orang, yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu, memandang beberapa orang pengikutnya berganti-ganti. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Siapa pernah mendengar nama Kasan Barong? Dan siapakah yang pernah mendengar sebuah kitab yang disebut Kitab Mega Mendung?” Para pengikutnya itu menggeleng. “Tentu fitnah,” geram orang yang disebut Jati Ngarang. “Seandainya benar bahwa aku adalah orang yang kau sebut Kasan Barong, yang mencuri kitab gurumu, bagaimana kau tahu bahwa orang itu adalah aku?” “Aku sudah mendapat ancar-ancar dari Guru. Orang yang namanya Kasan Barong adalah seorang yang bertubuh tinggi, tegap, bermata tajam seperti mata elang, cerdik dan licik.” “Bukankah ada beribu orang yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata elang?” “Orang itu berkeliaran dan menjadi pemimpin sekelompok penyampun di daerah ini. Jelas. Tidak ada dua atau tiga, tetapi hanya ada satu orang saja. Kau. Meskipun namamu akan berganti seribu kali, tetapi bayangan di kepalaku adalah tepat terungkap pada wajah, ujud dan sifat-sifatmu.” “Persetan dengan igauanmu. Seandainya aku adalah Kasan Barong, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan mengambil kembali kitab itu.” “Seandainya aku berhasil mencurinya, aku tentu tidak akan mengembalikannya kepadamu atau memberikannya kepada siapapun. Kecuali jika ada orang yang membelinya dengan harga yang sangat mahal.” “Apakah aku harus memaksamu dengan caraku?“ Orang yang menyebut dirinya Jati Ngarang itu tertawa. Beberapa orang pengikutnya pun tertawa pula. Seorang yang berkumis lebat berkata di sela-sela derai tertawanya, “Kau hanya dua orang. Itupun seorang di antara kalian perempuan. Kami semuanya berjumlah sepuluh orang. Bagaimana mungkin kau akan memaksa kami untuk melakukan sesuatu? Apalagi yang harus kami lakukan itu tidak kami mengerti sama sekali.” “Meskipun kami hanya berdua, jika Guru tidak mempercayai kami, maka kami tidak akan mendapat perintah untuk mengambil kembali kitab itu. Beberapa pekan aku berkeliaran di daerah ini, sekarang aku menemukan orang yang aku cari. Aku tentu tidak akan melepaskan Kasan Barong yang licik itu.” “Persetan dengan celotehmu. Pergi, atau kami akan membunuhmu,” geram seorang yang tubuhnya agak gemuk. Lengannya yang besar itu hampir sebesar kentongan tunggak bambu petung. “Aku akan pergi dengan membawa Kitab Mega Mendung, sebagaimana diperintahkan oleh Guru.” Pemimpin sekelompok orang yang membawa candu itu pun kemudian berkata, “Selesaikan mereka berdua. Aku akan membawa peti itu pulang.” Namun tiba-tiba saja Glagah Putih hampir berteriak berkata, “Kitab itu tentu kalian simpan di dalam peti itu! Berikan peti itu kepadaku!” “Kau gila. Ini peti berisi perhiasan. Aku memang merampoknya dari beberapa orang pedagang yang lewat.” “Omong kosong. Jika peti itu berisi perhiasan, tunjukkan kepadaku. Aku tidak akan merampasnya.” “Kau tidak berhak melihat hasil rampokanku. Kau bukan keluarga kelompokku.” “Tetapi aku membawa wewenang guruku untuk mengambil kembali kitab itu.” “Apapun yang kau katakan, kau akan mati.” Orang yang tubuhnya agak gemuk itu pun melangkah maju, sedangkan orang yang berkumis lebat itu pun bergeser pula sambil berkata, “Aku akan menangkap perempuan ini saja. Keberadaannya di sarang kita akan memberikan banyak manfaat.” “Persetan kau,” geram orang yang agak gemuk, “aku akan membunuh laki-laki yang sombong ini.” Dalam pada itu, Jati Ngarang sendiri seakan-akan tidak menghiraukan lagi keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Bersama seorang yang membawa peti berisi candu itu, mereka meninggalkan tempat itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak boleh terpancang terlalu lama dalam pertempuran melawan kedua orag itu, agar mereka segera dapat menyusul Jati Ngarang dan para pengikutnya yang membawa peti itu pergi. Karena itu maka Glagali Putih pun kemudian berkata lantang, “Bersiaplah untuk mati!” Namun kemudian ia pun berteriak, “Kasan Barong! Jangan tinggalkan mayat kawanmu itu di sini. Jika kau pergi, kau harus membawa mayat mereka dan meninggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu!” Jati Ngarang menggeram. Tetapi ia hanya berpaling saja. Kemudian ia pun melanjutkan langkahnya. “Bagus,” geram Glagah Putih, “kalian berdua akan menjadi tumbal. Tetapi setelah membunuh kalian berdua, aku akan memburu Kasan Barong itu.” “Kau masih saja nekad menyembutnya Kasan Barong,” geram orang yang agak gemuk itu, “tetapi aku akan segera membungkam mulutmu.” Orang yang agak gemuk itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Namun orang itu tidak membiarkan Glagah Putih lepas dari serangannya. Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi orang itu meloncat dengan cekatan. Ketika tubuhnya berputar, maka kakinya pun terayun mendatar mengarah ke kening. Glagah Putih bergeser selangkah surut. Serangan itu tidak mengenainya. Bahkan Glagah Putih-lah yang kemudian dengan cepat meloncat menyerang. Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut. Tetapi ia pun mampu bergerak cepat menghindar. Namun serangan kedua Glagah Putih, tidak mampu dihindarinya. Kaki Glagah Putih terjulur lurus menggapai dadanya. Orang bertubuh gemuk itu terlempar beberapa langkah surut, kemudian jatuh tercebur ke dalam air yang mengalir di parit yang menjulur di pinggir jalan itu. Yang tertawa justru Rara Wulan. Katanya kepada orang berkumis lebat itu, “Lihat, kawanmu sempat mandi.” Orang berkumis lebat itu menggeram. Katanya, “Jangan meremehkan kawanku itu. Jika ia sudah melepaskan kemampuan puncaknya, maka suamimu akan lebur menjadi abu.” Rara Wulan tidak menjawab. Bahkan seolah-olah ia tidak mendengarnya. Bahkan ia pun bertanya, “Apakah kau juga akan mandi?” Rara Wulan tidak memberi kesempatan orang berkumis lebat itu menjawab. Tiba-tiba saja Rara Wulan pun meloncat menyerang. Tangannya-lah yang terjulur lurus mengenai dada orang berkumis lebat itu. Orang itu tidak mengira bahwa perempuan itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka ia pun tidak sempat menghindari serangan Rara Wulan itu. Demikian kerasnya serangan Rara Wulan, maka orang itu pun bergetar surut. Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Ternyata orang itu pun telah terdorong dan tercebur ke dalam parit itu pula. Dengan cepat orang itu pun bangkit dan meloncat ke tanggul. Tetapi seluruh pakaiannya sudah terlanjur basah, sebagaimana orang yang agak gemuk itu. Kejadian itu ternyata menarik perhatian beberapa orang kawannya yang masih belum terlalu jauh. Empat orang di antara mereka menghentikan langkahnya dan bahkan berbalik kembali. Jati Ngarang pun berpaling. Tetapi kemudian ia berjalan terus sambil berkata, “Jangan ragu-ragu. Selesaikan kedua orang itu dengan cepat.” “Baik, Lurahe,” jawab seorang di antara empat orang yang berbalik itu. Dalam pada itu, orang yang bertubuh gemuk itu pun mengumpat kasar. Dengan geram ia pun berkata, “Setan yang tidak tahu diri. Aku benar-benar akan membunuhmu.” “Lakukan saja kalau kau mampu. Kalau tidak, maka aku-lah yang akan membunuhmu.” Orang yang bertubuh gemuk yang pakaiannya menjadi basah kuyup itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih pun sudah benar-benar bersiap. Karena itu, maka serangan-serangannya menjadi sia-sia. Tangan dan kakinya tidak pernah dapat menyentuh tubuh Glagah Putih. Demikian pula orang yang berkumis itu. Serangan-serangannya pun tidak berarti sama sekali bagi Rara Wulan. Bahkan yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi orang itu terlempar ke dalam parit, setelah tubuhnya membentur pohon turi yang menjadi pohon perindang di jalan bulak itu. Sambil bangkit berdiri orang berkumis lebat itu mengumpat. Sementara itu, keempat orang yang berbalik itu telah berdiri memperhatikan pertempuran itu. Mereka pun segera menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya bernama Lemah Bengkah dan menuntut diserahkan Kitab Mega Mendung itu adalah seorang yang berilmu tinggi. “Pantas gurunya mempercayainya untuk mencari kitab itu,” berkata seorang di antara keempat orang yang berbalik itu. “Tetapi apakah Ki Lurah benar-benar telah mencuri kitab itu dari gurunya?” “Tentu tidak. Yang dicarinya adalah orang yang bernama Kasan Barong. Tetapi orang itu agaknya sangat yakin, bahwa Lurahe itu-lah yang dicarinya.” “Mereka harus menebus kesalahpahaman ini dengan nyawa mereka,” geram seorang yang bertubuh raksasa, berambut panjang bergerai di bawah ikat kepalanya sampai ke bawah bahunya. Tetapi percakapan itu pun terhenti. Mereka melihat orang yang bertubuh agak gemuk itu terpelanting jatuh. Punggungnya telah menimpa tanggul parit yang berbatu-batu padas. “Edan!” teriak orang yang bertubuh gemuk itu, “Kau patahkan tulang punggungku.” Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya orang itu bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan. “Aku akan membunuhmu, keparat,” geram orang itu sambil menarik senjatanya. Sebuah golok yang panjang, berwarna kehitam-hitaman. Agaknya bukan golok kebanyakan. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun agaknya kawan-kawannya itu pun akan segera melibatkan diri pula. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya. Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengerutkan dahinya. Ia mendengar beberapa orang kawannya yang berbalik itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apakah perguruanmu begitu miskin, sehingga tidak mampu membekalimu dengan senjata apapun?” Glagah Putih bergeser surut. Dipandanginya orang yang mentertawakannya itu sambil berkata, “Inilah senjataku. Ini memang senjataku.” “Apa yang dapat kau lakukan dengan senjatamu itu?” “O. Kau ingin tahu?” Tiba-tiba saja Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan senjatanya ke arah leher lawannya yang agak gemuk itu. Ia berharap lawannya itu menangkis serangannya dengan goloknya yang panjang. Sebenarnyalah bahwa lawannya yang agak gemuk itu telah menyilangkan goloknya untuk membentur serangan Glagah Putih. Orang itu berharap akan dapat menebas putus ikat pinggang lawannya itu. Namun ketika benturan itu terjadi, orang yang agak gemuk itu terkejut. Demikian pula orang-orang yang memperhatikan pertempuran itu. Mereka melihat golok yang panjang itu bergetar. Bahkan golok itu telah terlepas dari tangannya. Golok yang membentur ikat pinggang Glagah Putih itu seakan-akan telah terbentur dengan sebatang bindi baja sebesar lengan orang yang agak gemuk itu. Orang yang kehilangan goloknya itu meloncat surut. Tetapi ia tidak sempat memungut goloknya, karena tiba-tiba saja di luar perhitungannya, Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi telah berdiri sambil menginjak goloknya itu dengan satu kakinya. “Iblis keparat,” geram orang yang bertubuh agak gemuk itu. Glagah Putih memandangi orang-orang yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu sambil berkata, “Nah, kau lihat sekarang. Apa yang dapat aku lakukan dengan ikat pinggangku ini.” Orang-orang itu pun menjadi tegang. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Kita akan menyelesaikan orang itu bersama-sama.” Namun ketika keempat orang itu mulai bergeser, orang berkumis lebat itu mengaduh tertahan. Selendang Rara Wulan yang menyambar pundak kanannya, membuat tangan kanannya seakan-akan menjadi lumpuh. Bahkan orang itu tidak sempat menarik senjatanya, sebilah pedang yang tergantung di lambung kirinya. Keempat orang yang mulai bergerak itu berpaling. Mereka melihat kawannya yang berkumis lebat itu menyeringai kesakitan sambil mengumpat, “Perempuan terkutuk. Iblis manakah yang telah memberikan selendang itu kepadamu?” “Kenapa dengan selendangku?” Orang berkumis lebat itu mengelus pundaknya yang tulangnya bagaikan retak. Dalam pada itu, keempat orang yang berbalik itu pun segera membagi diri. Dua di antara mereka akan membantu orang yang tubuhnya agak gemuk itu. Sedangkan dua orang yang lain akan bertempur bersama orang yang berkumis lebat. “Bagaimana dengan perempuan ini?” bertanya seorang di antara kedua orang yang akan membantu orang yang berkumis lebat itu. “Bukan perempuan kebanyakan. Tetapi ia adalah iblis betina. Selendangnya sangat berbahaya.” “Bagaimana dengan selendangnya?” bertanya yang lain. “Jangan sampai tersentuh. Selendang itu dapat meretakkan tulang.” “Omong kosong,“ geram kawannya, “aku akan memotong selendang itu dengan pedangku.” Orang itu pun kemudian telah menggenggam pedang yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. “Pedangku ini dapat memotong segenggam kapuk randu yang ditiupkan ke tajamnya. Apalagi selendang itu. Aku akan memangkasnya menjadi potong-potongan kecil.” Rara Wulan sama sekali tidak menanggapinya. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri untuk melawan ketiga orang yang kemudian berdiri memencar. Namun seorang di antara mereka sebelah tangannya sudah tidak begitu bertenaga. Justru tangan kanannya. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah terlibat dalam pertempuran melawan masing-masing tiga orang. Namun ternyata bahwa keenam orang itu pun segera mengalami kesulitan. Pedang yang dibanggakan, yang dapat memotong selembar kapuk yang dihembus ke tajamnya, tidak mampu mengoyakkan selendang Rara Wulan. Bahkan selendang itu jika terjulur seakan-akan telah berubah menjadi sebatang tongkat baja yang sangat berbahaya. Dengan demikian, maka ketiga orang lawan Rara Wulan itu pun segera terdesak. Ketika orang yang tangan kanannya serasa telah menjadi lumpuh itu mencoba meloncat menyerang dengan kakinya, maka selendang Rara Wulan telah menyambar lambungnya. Dengan derasnya orang berkumis lebat itu terlempar ke samping. Tubuhnya terbanting dengan kerasnya di tanah yang berbatu padas. Orang itu pun mengerang kesakitan. Ia tidak lagi dapat segera bangkit. Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan. Kedua orang kawannya menjadi sangat marah. Sambil menggeram mereka pun segera menyerang dengan senjata masing-masing, yang berputaran seperti baling-baling. Sementara itu, ketiga orang lawan Glagah Putih telah mendesak lawan-lawannya pula. Meskipun orang yang agak gemuk itu sudah dapat memungut senjata kembali, tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan senjata Glagah Putih-lah yang mulai menyentuh tubuh lawan-lawannya itu. Seorang lawannya berteriak kesakitan sambil mengumpat ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai lengannya. Lengan itu pun telah terkoyak, seakan-akan tergores sebilah pedang yang sangat tajam. Namun dengan demikian orang-orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun harus menyadari, bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku mendapat perintah dari guru mereka itu benar-benar orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang mendahuluinya, agar mereka pun segera kembali untuk mengatasi kesulitan keenam orang itu. “Kalau bukan Lurahe Jati Ngarang sendiri, maka sulit untuk mengatasi dua orang ini,” desis seorang di antara mereka. Sementara itu, para pengikut Jati Ngarang itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun mereka sama sekali tidak mampu untuk menguasai orang yang menyebut namanya Lemah Bengkah bersama istrinya itu. Jati Ngarang yang sudah berjalan semakin jauh, masih mendengar isyarat pengikutnya. Namun ia justru berkata, “Cepat. Kita harus segera pergi. Kedua orang itu tidak boleh menyusul kita.” “Tidak ada gunanya, Lurahe. Meskipun kita sudah menjadi semakin jauh, maka salah seorang dari kawan-kawan kita itu tentu akan dapat menunjukkan sarang kita, jika mereka tidak berhasil mengalahkan kedua orang yang sedang mencari Kitab Mega Mendung itu. Agaknya mereka sedang menemui kesulitan, sehingga mereka telah memberi isyarat.” “Mereka tidak akan berkhianat dengan menunjukkan sarang kita.” “Tetapi kedua orang suami istri itu tentu mempunyai seribu cara untuk memaksa agar kawan-kawan kami itu berbicara.” “Jadi menurut pendapatmu?” “Kita kembali kepada kawan-kawan kita itu. Kita membantu mereka. Kedua orang suami istri itu harus kita bunuh. Jika mereka belum mati, maka mereka tentu akan memburu Ki Lurah, karena mereka yakin bahwa Ki Lurah adalah orang yang mereka sebut Kasan Barong, yang telah mencuri Kitab Mega Mendung.” Pemimpin segerombolan penyamun itu termangu-mangu. Namun pada saat itu mereka membawa candu di dalam peti kayu kecil itu. Candu yang harganya mahal sekali, sehingga candu yang mereka bawa itu nilainya adalah beberapa ratus keping uang perak. Namun akhirnya Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah. Kita kembali. Kita akan membantu keenam kawan-kawan kita yang mengalami kesulitan itu.” Dengan tergesa-gesa keempat orang itu pun melangkah kembali. Mereka tidak menyangka, bahwa dua orang laki-laki dan perempuan itu mampu mengalahkan enam orang di antara mereka. Sedangkan para perampok dan penyamun itu adalah orang-orang yang telah berpengalaman bermain dengan taruhan darah dan bahkan nyawa. Ketika mereka sampai di arena pertempuran, maka kawan-kawan mereka sudah hampir tidak berdaya. Dua orang yang bertempur melawan Rara Wulan hampir tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Sedangkan yang seorang lagi telah pingsan, terbaring di tanggul parit. Sedangkan yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah menjadi tidak berdaya pula. Jati Ngarang menggeram marah. Kedua orang suami istri itu seakan-akan dengan sengaja mempermainkan para pengikutnya. “Selesaikan perempuan itu,” geram Jati Ngarang, “jika kau mampu menangkapnya hidup-hidup, lakukanlah. Jika kalian mengalami kesulitan, bunuh saja. Aku akan membunuh laki-laki ini.” “Baik, Ki Lurah.” Demikianlah, maka tiga orang telah bergeser mendekati Rara Wulan. Mereka meletakkan peti kecil berisi candu itu di atas tanggul parit, dekat sebatang pohon turi. Kepada orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, orang yang meletakkan peti itu berkata, “Kau sudah tidak mampu berkelahi lagi. Jaga peti itu. Taruhannya adalah nyawamu.” “Baik. Baik, Kakang,“ jawab orang itu sambil berjalan tertatih-tatih mendekati peti yang terletak di bawah pohon turi itu. Dalam pada itu, maka Rara Wulan pun harus bertempur lagi melawan tiga orang yang baru saja memasuki arena pertempuran. Mereka masih memiliki tenaga dan kemampuan mereka sepenuhnya. Selebihnya, seorang yang sudah mengalami kesakitan masih mampu bergabung dengan ketiga orang kawannya itu. “Menyerah sajalah,” berkata seorang yang hidungnya cacat. Agaknya bekas goresan senjata yang menyilang. Untunglah bahwa luka itu tidak menggores di matanya. “Kau lihat kawan-kawanmu?” sahut Rara Wulan, “Karena itu, kalian sajalah yang menyerah.” “Perempuan tidak tahu diri. Kami akan dapat menangkapmu dan mencincangmu menjadi sayatan-sayatan kecil. Tetapi kami pun dapat berbuat lain atasmu. Jika kau menyerah, maka keadaan akan menjadi lebih baik daripada masa-masa lalumu.” Rara Wulan tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu selendangnya telah berputar. Terdengar putaran selendang itu bergaung seperti sendaren. “Gila perempuan ini,” desis salah seorang lawannya. Seorang yang lain pun menggeram, “Marilah. Kita selesaikan saja perempuan itu secepatnya. Kita akan berpacu dengan Ki Lurah yang akan membunuh laki-laki yang sombong itu.” Orang-orang yang sudah siap bertempur melawan Rara Wulan itu pun mulai bergeser. Yang akan mereka lakukan adalah menangkap perempuan itu. Tetapi jika sulit dilakukan dan bahkan tidak mungkin, maka mereka akan membunuh saja perempuan binal itu. Sementara itu, Jati Ngarang sudah berhadapan dengan Glagah Putih. Glagah Putih menyadari, bahwa pemimpin sekelompok penyamun itu tentu orang yang berilmu tinggi, dilandasi oleh keberanian dan pengalamannya yang luas. Dengan pedang di tangan, maka Jati Ngarang pun telah siap untuk menyerang. “Siapapun kau, maka kau tidak akan mampu melawan pedangku ini.” Glagah Putih sempat memandangi pedang lawannya. Pedangnya yang berwarna kehitam-hitaman itu menyiratkan pantulan cahaya matahari dari pamornya yang berkeredipan. “Hanya pedang-pedang pilihan yang dibuat dengan pamor seperti itu,” berkata Glagah Putih di dalam hati. Namun Glagah Putih pun percaya penuh bahwa senjatanya adalah senjata yang tidak ada duanya. Dengan landasan tenaga dalamnya yang sangat tinggi, maka senjata itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Karena itu, maka Glagah Putih harus berhati-hati menghadapinya. Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar. Sejenak kemudian, maka pedang itu pun telah berputaran. Kilatan cahaya matahari yang terpantul dari pamornya, kadang-kadang terasa bagaikan menusuk mata Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih pun segera menyadarinya, sehingga ia tidak lagi selalu memandangi daun pedang lawannya. Ketika lawannya meloncat sambil mengayunkan pedangnya, maka Glagah Putih pun bergeser untuk menghindar. Namun ketika ujung pedang itu bagaikan memburunya, maka Glagah Putih telah menepis pedang itu dengan senjatanya. Jati Ngarang menyadari bahwa senjata lawannya bukan senjata kebanyakan. Tetapi ketika pedangnya bersentuhan dengan senjata lawannya yang mengaku bernama Lemah Bengkah itu, maka ia pun bergumam di dalam hatinya, “Iblis manakah yang telah memberikan senjata itu kepadanya?” Demikianlah, maka mereka pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Jati Ngarang berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya terayun-ayun mengerikan. Berkali-kali pedang itu menebas dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun jika ujung pedang itu gagal menyentuh tubuh lawannya, maka pedang itu pun terjulur, mematuk seperti seekor ular bandotan. Tetapi Glagah Putih mampu mengimbangi kecepatan gerak Jati Ngarang. Bahkan sekali-sekali Glagah Putih mendahului serangan-serangan yang akan dilancarkan oleh lawannya. Dengan demikian, maka serangan-serangan Jati Ngarang itu masih belum mampu menembus pertahanan Glagah Putih, dan apalagi menyentuh sasarannya. Tetapi justru serangan-serangan Glagah Putih-lah yang telah berhasil menggores di tubuh Jati Ngarang. Jati Ngarang itu meloncat surut sambil mengumpat kasar ketika terasa ikat pinggang lawanya itu menggores lengannya. Bahkan kemudian ternyata bahwa goresan ikat pinggang itu telah mengoyakkan kulit dan dagingnya, sebagaimana tajamnya sebilah pedang. “Gila!” teriak Jati Ngarang, “Apa yang telah kau lakukan dengan ikat pinggangmu?” “Aku mampu memenggal kepalamu dengan sekali tebas,” sahut Glagah Putih, “belum tentu kau dapat melakukannya dengan pedangmu itu.” “Tentu aku dapat melakukannya. Menunduklah. Aku akan menebas lehermu sehingga putus dengan sekali ayun.” “Aku tidak akan dapat mengerti apakah kau benar-benar melakukannya atau tidak. Jika kau ingin memamerkannya kepadaku, cobalah menebas leher salah seorang pengikutmu yang tidak berguna itu.” Jati Ngarang menggeram. Katanya, “Kau memang gila. Kami telah menyatakan diri menjadi satu keluarga. Jika aku ingin menebas leher, maka itu tentu lehermu. Pedangku yang sudah keluar dari wrangkanya, sudah menjadi haus.” Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku hanya mempunyai sebuah leher. Karena itu, aku tidak akan menyerahkannya kepadamu dengan suka rela.” “Dengan suka rela atau tidak, akibatnya tidak akan berbeda. Akhirnya kepalamu akan terpenggal juga.” “Kau bermimpi. Marilah kita buktikan, kepala siapakah yang akan terpenggal di arena pertempuran ini.” Jati Ngarang tidak menyahut. Tetapi ia pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada. Namun Glagah Putih dengan cepat mengelak. Ditepisnya pedang lawannya menyamping. Dengan gerak yang sangat cepat, Glagah Putih telah mengayunkan senjata. Jati Ngarang mengaduh tertahan. Ujung ikat pinggang itu telah menggores lambungnya. Meskipun luka yang kemudian menyilang tidak begitu dalam, namun terasa luka itu menjadi sangat pedih dibasahi oleh keringatnya. Kemarahan Jati Ngarang rasa-rasanya telah membuat darah di seluruh tubuhnya mendidih. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Lawannya dengan senjatanya yang aneh, terlalu sulit untuk dikalahkan. Karena itu, maka Jati Ngarang itu telah berpaling sekilas untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jati Ngarang itu terkejut melihat apa yang terjadi dengan mereka. Juga satu kenyataan yang harus dihadapinya. Orang-orangnya yang bertempur melawan seorang perempuan itu ternyata sudah tidak berdaya. Dua orang tidak mampu melakukan perlawanan lagi. Meskipun mereka masih berdiri dengan senjata di tangan, tetapi rasa-rasanya mereka harus mengerahkan sisa-sisa tenaga mereka hanya untuk menyelamatkan keseimbangan mereka. Sementara itu, dua orang yang lain masih mencoba untuk bertempur. Namun mereka tidak berdaya lagi mengatasi serangan-serangan selendang Rara Wulan. Glagah Putih membiarkan lawannya untuk melihat kenyataan itu. Karena itu, Glagah Putih tidak tergesa-gesa menyerang Jati Ngarang yang menjadi sangat gelisah. “Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “kau harus melihat kenyataan itu. Serahkan saja kitab yang kau curi itu. Aku akan membawanya kepada Guru. Setelah itu, kau boleh meninggalkan arena ini.” “Persetan kau, Lemah Bengkah,” geram Jati Ngarang, “kau tidak akan dapat lari dari tanganku.” “Apakah kau tidak melihat kenyataan yang kau hadapi?” bertanya Glagah Putih. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang dengan sisa tenaganya. Namun yang terjadi, justru sebaliknya dari yang diharapkannya. Senjata aneh Glagah Putih itu telah mengenai pundaknya. Jati Ngarang meloncat surut. Tetapi kali ini Glagah Putih memburunya. Senjatanya itu pun terjulur lurus menyentuh dada. Jati Ngarang tidak mampu mengelak. Luka pun telah menganga pula di dadanya. Sambil mengerang kesakitan Jati Ngarang meloncat surut mengambil jarak. Glagah Putih membiarkannya berdiri termangu-mangu. Dibiarkannya Jati Ngarang itu melihat orang-orangnya yang bertempur melawan Rara Wulan. Mereka semuanya sudah tidak berdaya lagi. “Jangan mengingkari kenyataan ini, Kasan Barong,” berkata Glagah Putih, “pergilah. Tinggalkan peti yang berisi Kitab Mega Mendung itu.” Jati Ngarang termangu-mangu sejenak. Ia memang tidak dapat berbuat lain jika ia masih ingin tetap hidup. Karena itu, maka Jati Ngarang itu pun berkata, “Baiklah jika kau menghendaki peti itu. Ambillah. Tetapi dengan syarat.” “Syarat apa?” “Jangan kau buka sebelum kau sampai ke hadapan gurumu.” “Kenapa?” “Kitab yang kau maksudkan adalah kitab yang keramat. Aku pun belum pernah membukanya. Aku hanya membawanya kemana aku pergi, agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Namun ternyata aku masih belum berhasil membukanya. Bahkan akhirnya niatku untuk membuka aku batalkan, setelah saudara tua seperguruanku memberitahukan bahwa kitab itu adalah kitab keramat. Tidak setiap orang dapat dan boleh membukanya.” “Kenapa kalau aku buka di sini?” “Terserah kepadamu. Tetapi aku sudah memperingatkanmu, bahwa sebaiknya kau buka di hadapan gurumu. Jika terjadi sesuatu, gurumu akan dapat menyelamatkanmu.” “Baik. Aku akan melakukannya.” Jati Ngarang itu termangu-mangu sejenak. Lalu ia pun memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu. “Tinggalkan peti itu di situ.“ “Tetapi…” desis seorang kawannya. Jati Ngarang tidak menjawab. Tetapi ia membelalakkan matanya kepada orangnya itu. Sejenak kemudian Jati Ngarang dan orang-orangnya pun segera pergi. Sambil berjalan menjauh. Jati Ngarang pun berkata, “Biarlah mereka mengambil candu itu, daripada nyawa kita. Bukankah kita dapat menukarnya dengan benda-benda yang dapat kita rampas dari para pedagang yang lewat?” “Tetapi candu itu harganya mahal sekali.” “Mana yang lebih mahal? Candu itu atau nyawamu?“ Pengikutnya itu tidak menjawab lagi. Sementara Jati Ngarang itu berkata pula, “Selagi nyawa kita masih ada, kita akan mendapat kesempatan untuk mencarinya. Tetapi jika nyawa kita sudah tidak lagi berada di dalam tubuh kita, maka kita sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa.” Orang-orangnya tidak menjawab. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh. Ada di antara mereka yang harus dipapah oleh kawannya yang masih sanggup berjalan dengan tegak. Namun Jati Ngarang sendiri tubuhnya terasa menjadi semakin lemah. Dari luka-lukanya, darah masih tetap mengalir. Akhirnya mereka memutuskan untuk berbelok masuk ke sebuah pategalan, untuk mengobati luka-luka mereka. Setidak-tidaknya memampatkan darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh mereka, yang ternyata terdapat dimana-mana. Bahkan selendang perempuan itu mampu menggoreskan luka di tubuh mereka. Sementara itu Rara Wulan dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit. Dengan nada ragu, Rara Wulan pun bertanya, “Kenapa kita melepaskan mereka semuanya, Kakang?” “Apakah kita harus membunuh mereka semua? Sementara itu tentu kita tidak dapat menawan mereka, karena kita berada di perjalanan.” “Aku mengerti. Tetapi dengan demikian, kita hanya melakukan pekerjaan ini sepotong. Sementara itu, mereka masih saja memperdagangkan barang yang terlarang itu.” “Kita akan berbicara dengan Ki Demang di kademangan ini. Biarlah Ki Demang melaporkannya kepada para petugas, meskipun mungkin Ki Demang akan menempuh perjalanan yang agak jauh.” “Agaknya daerah ini tidak terjangkau oleh tangan-tangan para petugas. Terbukti para perampok dan para penyamun masih saja berkeliaran di daerah ini.” “Ya. Tetapi laporan tentang perdagangan yang terlarang itu mudah-mudahan dapat mempertajam kerisauan daerah ini, sehingga daerah ini akan mendapat perhatian lebih besar. Tidak hanya sekedar perampok dan penyamun, tetapi justru peredaran barang-barang terlarang.” “Apakah Ki Demang berani melakukannya?” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jika niat Ki Umbul Telu itu dapat terlaksana, maka persoalannya akan berbeda. Suasana di daerah ini akan berubah.” Rara Wulan mengangguk-angguk. “Para Demang di daerah ini pun mudah-mudahan juga tersembul nafas keberanian yang ditimbulkan oleh Ki Umbul Telu di sekitar bukit kecilnya itu, sehingga mereka akan berani memberikan perlawanan kepada para perampok dan penyamun.” “Tetapi jika hal itu dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada para pedagang, maka akan dapat terjadi salah langkah, Kakang. Ternyata ada juga para pedagang yang langkahnya jauh lebih buruk dari para perampok dan penyamun. Mereka telah bekerja sama dengan para perampok dan penyamun untuk mengadakan barang-barang terlarang.” “Ya, itu juga merupakan masalah yang besar. Karena itu, persoalannya harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Bukan sekedar sambil lalu. Jika para Demang dan beberapa perguruan membantu membuka jalan perdagangan agar daerah mereka menjadi ramai kembali, itu harus disadari bahwa jalan perdagangan itu tidak akan menjadi jalan peredaran barang-barang terlarang itu.” “Kita memang harus menemui salah seorang Demang yang terdekat dan membawahi lingkungan pasar itu.” Namun Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan atas peti itu?” “Kita akan memusnahkannya. Tetapi kita harus menyimpannya sedikit, sebagai bukti bahwa perdagangan barang terlarang ini memang ada. Kita akan menunjukkannya kepada Ki Demang yang membawahi pasar itu.” Demikianlah, keduanya pun kemudian telah membawa peti itu menjauhi tempat yang berpenghuni. Mereka berjalan menyusuri sebatang sungai ke arah udik, sehingga mereka sampai di tempat yang jarang didatangi seseorang. Ketika mereka naik tebing sungai itu, mereka telah berada di sebuah padang perdu. “Kita akan membakarnya, setelah kita menyimpan sedikit.” Keduanya pun kemudian mencari ranting-ranting kayu kering dan ditimbun di atas tebing sungai itu. Setelah mengambil sedikit contoh dari barang terlarang dan disimpan, maka peti itu beserta isinya diletakkan di atas setumpuk kekayuan kering. Glagah Putih pun kemudian telah membuat api, dan kemudian menyalakan kayu-kayu kering yang ditimbunnya itu. Sejenak kemudian, maka peti serta isinya pun telah terbakar. Angin yang bertiup di atas tebing perdu itu telah menaburkan asapnya ke arah hutan yang lebat. Setelah peti dan isinya itu lebur menjadi abu, maka keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka segera kembali ke pasar yang sudah menjadi lebih sepi. Kepada orang-orang yang masih ada di depan pasar, Glagah Putih dan Rara Wulan pun bertanya kepada mereka, dimanakah letak rumah Ki Demang yang membawahi pasar itu. “Rumahnya tidak begitu jauh, Ki Sanak,“ jawab seorang laki-laki berperawakan sedang, “ambil jalan ini. Jalan ini adalah jalan utama padukuhan ini. Di simpang tiga, kalian akan menjumpai sebatang pohon beringin yang besar. Nah, ambil jalan ke kiri. Jika kau berjalan terus, kau akan sampai ke banjar.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Bersama Rara Wulan, maka Glagah Putih pun telah menelusuri jalan utama padukuhan itu. Seperti yang dikatakan oleh laki-laki di depan pasar, ketika mereka sampai di simpang tiga, maka mereka pun telah berbelok ke kiri. Tidak sampai seratus langkah, maka mereka pun telah sampai di regol halaman sebuah rumah yang besar dan berhalaman luas. Menurut dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka rumah itu tentu rumah Ki Demang. Namun untuk meyakinkannya, maka Glagah Putih pun bertanya kepada seorang remaja yang lewat sambil membawa walesan bambu. “Apakah rumah ini rumah Ki Demang, Tole?” Remaja itu berhenti. Sejenak ia termangu. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Ya, Kakang. Rumah itu adalah rumah Ki Demang. Apakah kau akan menemuinya?” bersambung
Idemengangkat ADBM jadi sendratari berawal dari kata “Menoreh”. Kata itu identik dataran tinggi Kulon Progo yang disebut Bukit Menoreh di mana di sana berbatasan antara Purworejo, Magelang, dan Kulon Progo sendiri. “Karena ada kata Menoreh, maka kita ambil posisi,” kata Untung. Namun mencipta sendratari dari kisah ini bukan perkara mudah. Cerbung ini berkonsenterasi pada tokoh penakut bernama Agung Sedayu, seorang adik senapati Pajang. Seiring perjalanan waktu, hilanglah sifat penakut dalam diri Sedayu. Bahkan dia menjadi satu nama yang diperhitungkan dalam dunia olah kanuragan Jawa. Meski Agung Sedayu menjadi seorang yang sakti namun dia tidak menjadi congkak dan mendewakan diri. Sebaliknya seiring kemampuan yang meningkat juga meningkatlah budi pekerti, semakin jadi manusia. Mengambil latar waktu dari masa awal berdirinya Pajang sampai masa pemerintahan Panembahan Hanyakrawati di Mataram, cerbung ini menyajikan sejarah dengan cara bertutur yang baik. Seakan penulis ingin membeberkan analisanya terhadap sejarah Indonesia dan Tanah Jawa khususnya yang pelik dan penuh pertentangan antar saudara sendiri. Cerbung ini akan menunjukkan pada anda apa arti kesabaran, hati yang bersih, terutama bagaimana dendam akan menghancurkan siapa yang bersinggungan dengannya. Cerbung ini tidak hanya berkisah tentang kepahlawanan orang sakti, tapi lebih terutama bagaimana orang sakti itu mengabdi tanpa kehilangan kemanusiaannya. Selamat membaca. Mintardja Api Di Bukit Menoreh Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 001-100 Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 101-200Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 201-300Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 301-396
Segerasaja Ken Arok melompat jungkir balik di udara menjauhi Ki Jawani. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari Ki Jawani menggebrak dengan ilmu tingkat tinggi.
MenuAllAllTitlesTV EpisodesCelebsCompaniesKeywordsAdvanced SearchWatchlistSign InSign InNew Customer? Create accountENFully supportedEnglish United StatesPartially supportedFrançais CanadaFrançais FranceDeutsch Deutschlandहिंदी भारतItaliano ItaliaPortuguês BrasilEspañol EspañaEspañol MéxicoCast & crewIMDbPro1971YOUR RATINGAdd a plot in your languageDirectorD. DjajakusumaStarsNuniek GunadiHusin LubisMoh MochtarSee production, box office & company infoYOUR RATINGSee production, box office & company infoSee more at IMDbProPhotosAdd photoTop castEditNuniek GunadiHusin LubisMoh MochtarSentot SanchoHassan SanusiKies SlametSosialismanKusno SudjarwadiYetty SyarifahHadisjam TahaxDirectorD. DjajakusumaAll cast & crewProduction, box office & more at IMDbProStorylineEditUser reviewsBe the first to reviewBe the first to reviewTop picksSign in to rate and Watchlist for personalized recommendationsSign inDetailsEditRelease date1971 IndonesiaCountry of originIndonesiaLanguageIndonesianProduction companyPenas StudioSee more company credits at IMDbProRelated newsContribute to this pageSuggest an edit or add missing contentTop GapWhat is the English language plot outline for Api dibukit menorah 1971?AnswerSee more gapsLearn more about contributingEdit pageMore to exploreRecently viewedYou have no recently viewed pages
Tebal: 360 Halaman Buku Bekas Kondisi : Cukup Harga : 20.000 Stock :(HABIS / SOLD OUT) Judul : Matilda. Penulis : Road Dahl Penerbit : Gramedia Cetakan Kedua, 2001 Judul : Bundel Novel Api DiBukit Menoreh - Hanya ada 8 Bundel jilid 21-99 ( 79 Jilid-belum Tamat ) Isi Perbundel 9-10 Buku. Penulis : Sh. Mintardja Category Archives Buku 361 – 370 Buku 361 Seri IV Jilid 61 ♦ 15 Juli 2010 “Tetapi kita sudah berada di sini. Mereka tentu akan mencurigai kita,” bisik Glagah Putih. Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami adalah dua orang suami istri yang sedang mengembara. Jika hari ini kami sampai di padukuhan Ki Sanak, maka kami berniat memperkenalkan diri kami. … Baca lebih lanjut → Buku 362 Seri IV Jilid 62 admin ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebelum mereka menjawab, Ki Umbul Telu itu pun berkata pula, “Kami masih ingin juga mendapat petunjuk Angger berdua.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimana mungkin kami memberikan petunjuk kepada Ki Umbul Telu. Yang mungkin dapat kami sampaikan adalah sekedar gagasan-gagasan yang mungkin banyak berarti.” “Gagasan-gagasan itulah yang … Baca lebih lanjut → Buku 363 Seri IV Jilid 63 admin ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku ingin bertemu dengan Ki Demang.” Anak itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Ia pun segera meninggalkan tempat itu. Katanya, “Maaf, Kang. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu di bendungan.” “Kau akan memancing ikan?” “Ya,” jawab anak itu sambil berlari-lari. “Mudah-mudahan Ki Demang tanggap, Rara,” desis Glagah Putih. Rara Wulan … Baca lebih lanjut → Buku 364 Seri IV Jilid 64 admin ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih yang telah bergeser menjauh itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan menjalani laku untuk menjadi kebal seperti Kakang Agung Sedayu.” Ketika Rara Wulan mendekat, Glagah Putih masih juga bergeser menjauh. Tetapi Rara Wulan pun kemudian berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku tidak akan menyakitimu lagi.” Glagah Putih nampak ragu-ragu. Tetapi Rara Wulan memang tidak mencubitnya … Baca lebih lanjut → Buku 365 Seri IV Jilid 65 admin ♦ 15 Juli 2010 Namun Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berada di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu. Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu … Baca lebih lanjut → Buku 366 Seri IV Jilid 66 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Murdaka pun akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram ia pun bergumam, “Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat.” Dengan tangkasnya Ki Murdaka pun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak. Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu. Rara Wulan terkejut. Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Karena … Baca lebih lanjut → Buku 367 Seri IV Jilid 67 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan. Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu. Sementara itu dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah kehilangan kesempatan mereka. Senjata mereka telah terlepas dari tangan. Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan. “Sudah aku katakan,” … Baca lebih lanjut → Buku 368 Seri IV Jilid 68 admin ♦ 15 Juli 2010 Setelah beberapa saat tidak ada gerakan apa-apa di antara para prajurit Mataram, maka Raden Panengah pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk beristirahat kembali. Namun mereka diperintahkan untuk tetap berada di tempat mereka masing-masing. Mereka tidak perlu berkumpul lagi di gubug-gubug yang telah mereka bangun di ujung hutan itu. Tetapi justru karena itu, maka sebagian dari mereka … Baca lebih lanjut → Buku 369 Seri IV Jilid 69 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Apakah Nyai Demang akan memaksa kami menunggu kedatangan mereka?” “Ya. Kami akan memaksa Ki Lurah menunggu mereka datang.” “Jika sebelum mereka datang kami sudah pergi?” “Tidak. Tidak. Kalian tidak boleh pergi sekarang.” Ki Lurah Agung Sedayu melihat bahwa Nyai Demang itu sudah menjadi sangat kebingungan. Sejak racunnya gagal membunuh … Baca lebih lanjut → Buku 370 Seri IV Jilid 70 admin ♦ 15 Juli 2010 Namun prajurit yang telah tersinggung itu pun menggeram, “Tetapi sebaliknya jika kau gagal, maka kau akan terkubur di sini. Kau tidak akan pernah sampai ke Mataram.” Dahi perampok yang bertubuh tinggi itu berkerut. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengadu nasib melawan prajurit itu. Ia merasa sebagai seorang perampok, ia sudah banyak berpengalaman dalam dunia olah … Baca lebih lanjut → Navigasi pos
KOMPAScom- Hari Rabu (6/4/2022), umat Islam memasuki ibadah puasa hari ke-4 Ramadhan 1443 Hijriah.Selamat menjalankan rangkaian ibadah puasa, semoga senantiasa sehat dan mampu menyelesaikan ibadah puasa hingga akhir. Setiap wilayah seluruh Indonesia memiliki masing-masing jadwal imsak sebagai pengingat sahur dan jadwal buka puasa sebagai
ApiDi Bukit Menoreh Seri 2 Buku 163. Buku 163. “Kami menyadari arti perjuangan Raden Sutawijaya,“ berkata Ki Gede kemudian. “Kami mengharap kehadiran Ki Gede dan Ki Waskita, malam sebelum hari yang ditentukan itu datang,“ berkata senapati itu, “Senapati ing Ngalaga akan membicarakan segala sesuatunya tentang perjuangan yang nampaknya njU6P.
  • yrt52a5la7.pages.dev/213
  • yrt52a5la7.pages.dev/60
  • yrt52a5la7.pages.dev/382
  • yrt52a5la7.pages.dev/335
  • yrt52a5la7.pages.dev/350
  • yrt52a5la7.pages.dev/384
  • yrt52a5la7.pages.dev/10
  • yrt52a5la7.pages.dev/390
  • yrt52a5la7.pages.dev/334
  • api dibukit menoreh 360